1.
PENDAHULUAN
Jumlah orang yang melakukan perbuatan bunuh diri
semakin meningkat di Negara-negara maju dengan semakin menanjaknya
kesejahteraan hidup dan kompleksnya masyarakat. Sebagai contoh, di negara
Swedia, Amerika Serikat. Denmark dan Jepang dengan tingkat kesejahteraan yang
sangat tinggi justru terdapat peningkatan yang mencolok dari peristiwa bunuh
diri. Masalah bunuh diri ini erat kaitannya dengan pandangan hidup
bangsa-bangsa tersebut dalam menghayati moralitas, perbuatan normative, dan
relasi manusia dengan orang lain, dan dengan Tuhan. Bahkan pada saat-saat
tertentu perbuatan bunuh diri dianggap sebagai kebiasaan social penuh
kehormatan, dan sarat dengan nilai-nilai normative tinggi.
Bunuh diri adalah perbuatan dengan sengaja, dan bertujuan secara sadar mengambil jiwanya
sendiri. Frekuensi bunuh diri di kalangan kaum bangsawan pada zaman mesir,
roma, turki, di masa pemerintahan kemal Ataturk, kerajaan-kerajaan cina, dan
jepang, dianggap oleh para pelakunya sebagai kebiassaan social penuh kemurnian
dan kehormataan. Juga dapat dilihat sebagai perbuatan penebusan dan
penyelamatan harga diri, agar langgeng di alam keabadian. Contoh peristiwa harakiri, yaitu perbuatan bunuh diri
yang dilakukan oleh kaum samurai secara ritualistik dengan menyobek perut
sendiri oleh kaum samurai dan pria jepang yang berderajat tinggi, disebabkan
karena mereka merasa mengalami aib atau malu besar, maka itu haru ditebus
dengan harakiri.
Suttee, yaitu
mati-obong atau mati diatas pancaka (api pembakar) yang dilakukan oleh para
janda di India tengah, didorong oleh tekanan tradisi harus rela bela-mati
dengan membakar diri dilakukan di kalangan orang- orang Eskimo dengan tujuan
meringankan suku mereka dari beban memelihara orang-orang yang tidak produktif.
Semasa
kerajaan jawa dan bali “mati obong banyak dilakukan unuk menyatakan kesetiaan,
kecintaan yang suci, dan penebusan secara sukarela kepada suami yang meninggal
dunia. Ini didorong oleh tradisi dan paksaan opini umum; bahkan merupakan kepantasan, kepastian, atau tuntutan social
yang harus dilakukan oleh para wanita untuk menunjukan kesetiaan dan
kesuciannya kepasa mendiang suaminya.
Suttee
telah dihapuskan oleh pemerintah inggris pada tahun 1828. Sedangkan mati-obong
dilarang oleh pemerintah belanda kira-kira pada akhir abad ke 19. Kemudian harakiri secara seremonial pun lenyap,
disebabkan oleh perubahan social di jepang khususnya sesudah perang dunia II.
2.
DEFINISI
DAN CIRI-CIRI KARAKTERISTIK
Menurut
aliran human behavior, bunuh diri adalah bentuk pelarian diri yang paling parah
dari dunia nyata, atau lari dari situasi yang tidak bisa ditolerir, atau
merupakan bentuk regressi ingin kembali
pada keadaan nikmat nyaman, tentram.
Definisi
: bunuh diri ialah perbutuan manusia yang disadari yang bertujuan untuk
menyakiti diri sendiri dan menghentikan kehidupan sendiri.
Dalam kalimat ini ada 5
hal yang penting, yaitu :
1) Merupakan
perbuatan manusia
2) Ada
keinginan yang disadari untuk mati
3) Memiliki
motivasi-motivasi tertentu
4) Bertujuan
menggapai kematian
5) Ada
introspeksi penuh kesadaran mengenai satu konsep tentang kematian atau
penghentian kehidupan.
Beberapa
definisi lainnya, antara lain :
o Bunuh
diri adalah satu jalan untuk mengatasi macam-macam kesulitan pribadi, misalnya
berupa rasa kesepian, dendam, takut, kesakitan, fisik, dosa, dan lain-lain.
o Bunuh
diri adalah keinginan yang mendorong suatu perbuatan untuk melakukan
destruksi/pengrusakan diri sendiri.
o Bunuh
diri ialah derajat efektiviitas satu perbuatan yang disengaja dan bertujuan untuk
mengakibatkan kematian.
Perbuatan bunuh diri dapat digolongkan dalam 2 tipe,
yaitu yang konvensional dan yang personal.
Bunuh
diri konvensional adalah produk dari
tradisi dan paksaan dari opini umum untuk mengikuti criteria kepantasan,
kepastian social, dan tuntutan social. Bunuh diri tipe ini merupakan bagian
dari tradisi dan gaya hidup suatu suku atau bangsa. Perbuatan bunuh diri tipe ini sudah banyak dihapus, sebagian
disebabkan oleh pengaruh-pengaruh bangsa lain, atau oleh tekanan dan paksaan bangsa
lain, dan sebagian lagi disebabkan oleh banyaknya perubahan pada
kondisi-kondisi social.
Sebaliknya bunuh diri personal, khas banyak terjadi pada masa modern, karena
orang merasa lebih bebas dan tidak mau tunduk pada aturan. Orang tidak ingin
terlalu terikat oleh kebiasaan-kebiasaan yang ada untuk memecahkan kesulitan
hidupnya. Sebaliknya mereka mencari jalan
singkat dengan caranya sendiri, yaitu bunuh diri, utnuk mengatasi
kesulitan hidupnya, atas keputusan sendiri. Karena itu peristiwa bunuh diri adalah
bentuk kegagalan seseorang dalam upayanya menyesuaikan diri tehadap
tekanan-tekanan social dan tuntutan-tuntutan hidup.
Factor yang mempengaruhi atau turut
mempengaruhi kemauan bunuh diri adalah bermacam-macam sehingga memaksa pribadi
perorangan atau sekumpulan orang untuk melakukan perbuatan bunuh diri, antara lain : religi,
jenis kelamin, pendidikan, profesi, doktrin, usia, dan lain-lain. Laki-laki lebih banyak melakukan
tindakan bunuh diri daripada kaum wanita. Hal ini disebabkan karena kaum laki-laki
memiliki banyak keberanian, keteguhan kemauan, dan kekuatan fisik yang lebih
besar untuk menyakiti dan merusak diri sendiri sampai pada kematiannya.
Factor-faktor yang lain yang
memberikan kontribusi pada tindakan bunuh diri antara lain ialah factor sosiologis, berupa disintegrasi
dan disorganisasi social yang mengakibatkan disintegrasi-disorganisasi
pribadi/personal, masa-masa krisis, peristiwa erosi dari norma-norma dan
nilai-nilai. Factor ekonomi, antara
lain berupa status ekonomi, depresi ekonomi, jatuh miskin secara mendadak, dan
lain-lain. Factor politik, misalnya
berupa perubahan-perubahan iklim politik dengan macam-macam tekanannya,
perubahan peranan dalam dunia politik, dan lain-lain. Factor pendidikan, misalnya kegagalan studi.
Beberapa cirri karakteristik dari orang-orang yang cenderung melakukan dan
sudah melakukan perbuatan bunuh diri, antara lain :
1) Ada
perasaan tanpa harapan, tidak berdaya, sia-sia, sampai pada jalan buntu, merasa
tidak mampu mengatasi segala kesulitan dalam hidupnya.
2) Selalu
dihantui atau dikejar-kejar oleh rasa cemas, takut, tegang, depresi, marah,
dendam, dosa, atau bersalah.
3) Hilangnya
kegairahan hidup, hilang minat terhadap aktivitas-aktivitas sehari-hari, pupus
kegairahan seksnya, tanpa minat terhadap masyarakat sekitar.
4) Penderita
pernah sekali atau beberapa kali mencoba melakukan upaya bunuh diri.
Dengan
melihat adanya cirri-ciri karakteristik tersebut di atas, terang bagi kita
bahwa para penderita tersebut mengalami gangguan
atau penyakit mental, jadi ada ketidaksehatan mental pada diri mereka.
3.
ASPEK
SOSIOLOGIS PERBUATAN BUNUH DIRI
Pada
zaman romawi kuno peristiwa bunuh diri di kalangan kaum bangsawan disebut
sebagai kejadian yang terhormat penuh unsure kemuliaan, dan menjadi bagian dari
alat kebiasaan sosial. Namun pada zaman revolusi Perancis, bunuh diri bukan
lagi menjadi bagian dari adat-istiadat yang dinilai tinggi, akan tetapi
dianggap sebagai kegagalan tingkah laku manusia atau penyakit mental. Dari
asumsi diatas, yang kemudian melatarbelakangi teori psikologis yang menyatakan
bahwa bunuh diri disebabkan oleh kegilaan atau kelemahan karakter atau
ketidakimbangan jiwa (teori Dahlgren, 1945; Achille-Delmas,1932; Deshaies,
1947). Selain itu teori sosiologis juga menyatakan, bahwa bunuh diri disebabkan
oleh kegagalan dari control normative pada individu oleh masyarakat (Briere de
Boismont,1856,Morselli, 1879 dan Emile Durkheim, 1897).
Pada
abad ke-19, peristiwa bunuh diri berkaitan dengan opini dan interprestasi orang
mengenai kehampaan hidup didunia dan keindahan dunia keabadian sesudah mati,
yang banyak diajarkan oleh kaum rokhaniawan. Ditambah dengan kurangnya disipin
diri, berkembangnya egoisme dan materalisme dan peristiwa-peristiwa
disorganisasi moral yang menjalar dengan pesat
Bunuh
diri juga dianggap sebagai gerakan romantic atau symbol romantisisme, yaitu
melambangkan seorang pengembara yang kesepian dan terisolir yang tengah mencari
kesia-siaan dan hal-hal yang tidak mungkin bisa dicapai ditengah masyarakat
manusia. Kemudian orang menjadi semakin melankolis dan keranjingan pada
keabadian (kematian, kehidupan abadi). Kesepian dan isolasi menakibatkan
melankoli atau kesedihan dan selanjutnya menumbuhkan rasa-rasa kerinduan pada
kematian dan perbuatan bunuh diri, dengan demikian pada abad ke-19 bunuh diri
menjadi model mitis (mitos) dalam kehidupan manusia.
Adolphe
Quetelet seorang sosiolog menyatakan, bahwa setiap “system sosial” yang stabil
akan menghasilkan satu tipe kepribadian yang rata-rata stabil, contohnya
apabila dalam suatu masyarakat berkumpul menjadi satu kelompok masyarakat
dengan tata kehidupan dan atauran tertentu untuk mengendalikan tingkah laku
setiap anggotanya. sedangkan masyarakat dan moral-moralnya masyarakat yang
mempunyai sifat menekan menjadi penyebab utama terjadinya kasus bunuh diri.
Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan otoritas moral eksternal untuk mengatur
masyarakat dan menetapkan pola tingkah laku manusianya.tanpa otoritas moral
eksternal ini akan muncul egoism ekstrim anomi, fatalism disintegrasi sosial
dan personal, kekacauan, ketidakseimbangan, tanpa kesatuan dan persatuan atau
kohesi dan tidak adanya kejelasan. Semua ini menuju pada khaos, yang
memunculkan disintegrasi-disorganisasi personal dan bisa mendorong orang
melakukan perbuatan bunuh diri.
Para
sarjana dinegara-negara Barat kemudian sampai pada prinsip umum yang
mengemukakan pendapat sebagai berikut:
a. Urbanisasi
akan berhubungan langsung dengan tingginya angka bunuh diri.
b. Industrialisasi
dan kesejahteraan, kedua-duanya akan berhubungan langsung dengan tingginya
angka bunuh diri di Negara-negara Eropa
pada abad ke-19 dan di Negara-negara yang sudah maju dan berkembang pada
abad modern seperti sekarang ini.
c. Periode-periode
penuh disorganisasi dan reorganisasi, seperti masa-masa perang, akan menurunkan
angka kematian bunuh diri karena system pencatatan tidak banyak melaporkannya
dan lebih banyak tugas-tugas penting lainnya yang harus dikerjakan ditambah
dengan mobilisasi ketahanan mental penduduk
pada umumnya.
d. Semakin
terintegrasi satu kelompok sosial primer dan semakin merasa pedih mereka
kehilangan anggota yang melakukan bunuh diri, maka semakin besar usaha mereka
untuk menyembunyikan peristiwa bunuh diri itu.
Maurice Halbwachs (1930) kemudian
menggembangkan teorinya sebagai satu suplemen dari teori Durkheim mengenai
bunuh diri dengan teori sosiologis yang radikal. Ia menyatakan bahwa “Ada
kolerasi yang tinggi antara angka kematian bunuh diri dengan kompleksitas satu
masyarakat. Misalnya gaya hidup atau system sosiokultural pedesaan yang lebih
sederhana daripada gaya hidup perkotaan oleh karena itu angka kematian bunuh
diri didaerah pedesaan juga jauh lebih rendah daripada angka kematian didaerah
perkotaan”.
Disorganisasi
sosial disebabkan oleh sangat kompleksnya masyarakat perkotaan dengan adanya
mekanisasi, teknologi, industrialisasi, transportasi, komunikasi yang kemudian
memunculkan banyak disorganisasi personal tersebut memanifestasikan diri dalam
pola-pola:
“Semakin tidak mampunya orang-orang
kota mengatasi situasi-situasi krisis yang dihadapi sehari-hari, karena itu
banyak agensi kasus bunuh diri membuktikan, bahwa ada kolerasi akrab antara
tingginya angka bunuh diri dengan disintegrasi sosial.”
Inti
teori sosiologis yang mutakhir menyatakan bahwa semakin terintegrasi secara
sosial atau semakin kurang konfliktius satu perangkat status-status, seperti usia, ras, status
marital, profesi atau pekerjaan, sekolah, jaminan hari tua dan lain-lain yang
dimiliki anggota-anggota masyarakat, maka semakin sedikit asosiasi kondisi
tersebut dengan peristiwa bunuh diri.
4.
ASPEK
PSIKOLOGIS PERBUATAN BUNUH DIRI
Bunuh diri
merupakan perilaku manusia, yang sadar menginginkan pencabutan nyawa sendiri,
beralasan motivasi-motivasi tertentu; ditambah dengan satu konsep “idealistis”
mengenai kelanggengan –kebahagiaan abadi dari kematian (dengan menghentikan
kehidupan sendiri).
Sigmund Freud (1917)
Freud
menyatakan bahwa, bunuh diri merupakan produk dari satu proses dalam mana
emosi-emosi cinta dan afeksi yang pada mulanya ditujukan kepada objek seseorang
(yang kemudian diinternalisasikan dalam diri sendiri), namun cintanya ditolak;
lalu ia mengalami frustrasi. Peristiwa ini menimbulkan rasa amarah, benci dan
sikap bermusuh. Oleh karena itu, bunuh diri bisa dilihat dari segi pandangan
psikoanalisa bisa dianggap sebagai pembunuhan dalam 180-derajat. Tetapi
sekarang ini kita memahami bahwa, orang-orang tertentu membunuh dirinya sendiri
beralaskan satu deretan motif-motif yang dirasakan secara jiwani. Jadi bukan
hanya berdasarkan kebencian dan pembalasan dendam saja, akan tetapi juga
didorong oleh rasa malu, emosi, ketergantungan, rasa bersalah/berdosa, loyalitas,
rasa sakit hati dan bosan.
Jadi,
untuk memahami kejadian bunuh diri, orang perlu mengenal perasaan-perasaan dan
pikiran-pikiran, fungsi-fungsi ego dan konflik-konflik internal individu; di
samping memahami bagaimana caranya orang tersebut, mengintegrasikan diri
sendiri dengan sesama warga masyarakat ; dan berapa besar partisipasi dirinya
secara moral sebagai anggota kelompok-kelompok social tempat hidupnya.
Menninger (1938), mengklasifikasikan gejala-gejala sub
bunuh diri ke dalam:
1. Bunuh
diri kronis: asketisisme, kesyahidan atau martyrdom, adiksi atau kecanduan
obat-obatan, invalidisme, psikosa.
2. Bunuh
diri fokal (titik temu): pemotongan atau pengrusakan diri, pura-pura sakit,
kecelakaan-kecelakaan ganda, impotensi dan frigiditas.
3. Bunuh
diri organic: mencakup factor-faktor organic psikologis dalam penyakit-penyakit
organic.
Campuran
dari penggolongan lain yang mencakup tipe bunuh diri adalah sebagai berikut:
1. Bunuh
diri sebagai komunikasi
2. Bunuh
diri sebagai balas dendam
3. Bunuh
diri sebagai kejahatan fantasi
4. Bunuh
diri selaku pelarian diri yang tidak disadari
5. Bunuh
diri sebagai selaku kebangkitan kembali atau reuni magis
6. Bunuh
diri sebagai kelahiran kembali, dan pemulihan atau ganti rugi.
1. Menninger (1938),
menambah 3 unsur dalam bunuh diri yaitu: keinginan untuk membunuh, untuk
dibunuh dan keinginan untuk mati, sedangkan Zilboorg (1936), menganggap bunuh diri sebagai cara untuk
menghalang-halangi kekuatan-kekuatan eksternal yang masuk dalam diri sendiri
dan sebagai satu metode untuk mencapai keabadian.
2. O’Connor (1948),
pada peristiwa bunuh diri ada perasaan bahwa pribadi yang bersangkutan akan
mencapai kemahakuasaan dengan jalan kembali menuju ke kekuatan narsisisme.
3. Palmer (1941),
mensugestikan bahwa perkembangan psikoseksual yang tertahan/terhalang-halangi
sebagai akibat dari ketidak-bersediaan atau penolakan figure-figur penting
da;lam taraf perkembangan yang gawat, metrupakan mekanisme asasi bagi
terjadinya peristiwa bunuh ditri. Garma (1943), menekankan kehilangan satu
objek-cinta yang penting artinya bagi seorang pribadi; dan kemudian menggunakan
jalan bunuh diri untuk memulihkan kepedihan hatinya.
4. Bergler (1946),
melukiskan (a) bunuh diri introyeksi, sebagai
satu agresi terhadap perasaan-perasaan bersalah atau berdosa, (b) bunuh diri histeris, sebagai dramatisasi
bagaimana seseorang itu benar-benar tidak senang diperlakukan dengan cara
tertentu, (c) bunuh diri yang serbaneka,
seperi schizophrenia paranoid yang mereaksi terhadap suara-suara tertentu.
Maka
factor-faktor psikologis itu benar-benar merupakan inti penggerak bagi usaha
bunuh diri. Factor-faktor ini tidak hanya mencakup status pribadi sekarang dan
konstelasi psikodinamis individu yang bersangkutan, akan tetapi juga
motivasi-motivasi, alasan-alasan perbuatannya, pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan
yang menuntun pada perbuatan bunuh diri, di samping hubungan interpersonal dan
intrapersonal.
Motivasi-motivasi
interpersonal, dalam kasus bunuh diri terjadi
apabila pribadi yang melakukan tindak bunuh diri tersebut lewat perbuatannya
berusaha untuk memengaruhi terjadinya perubahan sikap pada orang lain. Karena
itu, bunu diri dapat dilihat sebagai alat untuk memengaruhi, membujuk,
mendesak, memaksa, memanipulasikan dan memulihkan perasaan-pikiran-perbuatan
orang lain. Orang lain disini adalah pribadi yang mempunyai hubungan yang dekat
seperti, suami/isteri, tunangan atau anggota keluarga. Perbuatan bunuh diri
juga digunakan sebagai ekspresi dari kemarahan, penolakan dan pemaksaan
kesediaan untuk mengubah perilaku pada orang-orang lain atau untuk menumbuhkan
perasaan bersalah kepada mereka.
Motivasi-motivasi intrapersonal,
paling banyak muncul pada orang-orang
yang lebih tua dalam mana:
1. Telah
banyak hilang emosi ikatan-ikatan dengan pribadi-pribadi lain.
2. Pribadi
merasakan adanya tekanan-tekanan dan ketegangan dari dalam, dan perlunya
melakukan satu perbuatan penting yaitu bunuh diri.
3. Merasa
bahwa kaitan-kaitan dengan orang-orang dekat dengan dirinya sudah sangat
longgar; misalnya karena di tinggal mati, anak-anak sudah berumah tangga
sendiri-sendiri, badan sudah sakit dan dilupakan.
4. Muncul
kemudian emosi-emosi yang sangat kuat berupa perasaan amat kesepian, merasa
tidak diperlukan lagi, tidak bisa bekerja efektif dan merasa sudah tidak punya
apa-apa lagi.
Kasus
bunuh diri pada umumnya banyak terjadi pada usia 14-50 tahun; namun lebih
separuhnya dilakukan oleh orang-orang dengan usia sekitar 30-an. Hal ini
mengindikasikan, bahwa factor-faktor eksternal dan social , missal keluarga,
masyarakat lingkungan sekitar dan lembaga-lembaga social yang ada itu bisa ikut
memainkan peranan penting dalam usaha mengatasi dan mencegah perbuatan bunuh
diri; yaitu ikut membatali penderitaan batin dan menolong penderitaan batin,
dan menolong penderitanya dari kesulitannya. Di samping itu lembaga-lembaga
agama bisa ikut memainkan peranan dalam membimbing kesehatan jiwa para
penderita, dan mencegah perilaku bunuh diri.
5.
UPAYA
PREVENTIF DAN PENGONTROLANNYA
Bunuh diri merupakan gejala personal juga merupakan gejala
sosial yang kompleks. Pada saat masa-masa krisis dan sulit serta menghadapi
ancaman bahaya besar, jarang sekali orang-orang melakukan tindakan bunuh diri.
Berbeda dengan masa-masa dimana seseorang penuh kejayaan dan kemakmuran, dengan
berbagai macam fasilitas dan kenikmatan hidup,
justru banyak orang muda yang putus asa dan melakukan bunuh diri: yaitu
didorong oleh rasa kejemuan dan kekosongan jiwa pada masa kemakmuran. Hal ini
mengindikasikan, bahwa gairah hidup dan semangat mempertahankan diri pada
kelompok disaat-saat kritis itu benar-benar menyerap segenap energy dan potensi
individu untuk tetap bertahan hidup disaat-saat yang sangat sulit.
Sekalipun trauma atau kepedihan mental bisa
mendorong seseorang melakukan perbuatan bunuh diri, namun sumbernya terletak
pada kondisi disorganisasi sosial, yang pada saatnya akan menyebabkan
disorganisasi personal. Disorganisasi sosial ialah Proses memudarnya atau
melemahnya norma-norma dan nilai-nilai
sosial dalam masyarakat karena adanya perubahan sosial dan budaya. Perubahan yang serba cepat ini disebabkan oleh proses urbanisasi, industrialisasi, mekanisasi dan teknologi canggih, mengakibatkan banyak ketidakstabilan. Kejadian ini menimbulkan rasa kesepian, ketakutan, kecemasan, kebingungan, kekacauan fikir, dll. Dan dalam keputusasaan orang melakukan bunuh diri membuktikan, bahwa ada korelasi akrab antara tingginya angka bunuh diri dengan disorganisasi sosial.
sosial dalam masyarakat karena adanya perubahan sosial dan budaya. Perubahan yang serba cepat ini disebabkan oleh proses urbanisasi, industrialisasi, mekanisasi dan teknologi canggih, mengakibatkan banyak ketidakstabilan. Kejadian ini menimbulkan rasa kesepian, ketakutan, kecemasan, kebingungan, kekacauan fikir, dll. Dan dalam keputusasaan orang melakukan bunuh diri membuktikan, bahwa ada korelasi akrab antara tingginya angka bunuh diri dengan disorganisasi sosial.
Motif-motif Bunuh Diri
Motif seseorang bunuh diri bervariasi, misalnya
karena rasa kehilangan kehormatan, runtuhnya posisi sosial, hapusnya kebebasan
berdiri, kegagalan bercinta, rasa aib dan malu besar, kesulitan dalam relasi
seksual yang kronis, serta masih banyak lagi.
Namun, ada satu faktor penyebab saja, yang mendorong
orang bisa melakukan tindakan bunuh diri, adanya permusuhan diri yang sudah
didahului oleh frustasi-frustasi berat dan konflik-konflik emosional yang
sangat parah, sehingga mempercepat keinginan orang untuk melakukan perbuatan
bunuh diri. Ketakutan asasi dalam kehidupan kejiwaan yang sering mengusik
ketenangan batin dan banyak menimbulkan stress dan konflik batin ialah :
ketakutan, kecemasan, dendam, benci, nafsu membalas, agresivitas, dan rasa
berdosa/bersalah. Krisis pribadi dan Krisis sosial di tengah masyarakat turut
memperkuat keinginan orang untuk melarikan diri dari realitas hidup yang dirasakan
seperti tidak bertanggung jawab; lalu orang melakukan bunuh diri.
Ringkasnya bunuh diri disebabkan oleh bertemunya dua
faktor yang saling mempengaruhi, yaitu :
1. ketidakstabilan/
ketidaksehatan mental, konflik-konflik emosional, kelicikan dan kelemahan pribadi,
tidak berani menghadapi tantangan kesulitan hidup (banyak tendens melarikan
diri), depresi organic, dan ketidakimbangan antara dorongan hidup melawan
hasrat ketergantungan infantile si penderita;
2. dan
oleh bentuk-bentuk disorganisasi-disintegrasi sosial ditengah masyarakat, yang
pada saatnya akan memprousir disorganisasi-disintegrasi personal pada
perorangan.
6.
CARA
PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
Untuk
mengurangi kasus bunuh diri, mencegah, dan menyembuhkan para penderita yang
telah gagal melakukan bunuh diri, disarankan agar pemerintah dan masyarakat
dapat melakukan kegiatan sebagai berikut :
1.
Mendirikan Pusat Studi
tentang pencegahan Bunuh diri dibawah
naungan Lembaga Hygiene Mental ; gerakan
disiplin ilmu multi disipliner yang disebut SUICIDOLOGY- studi humani dan
ilmiah mengenai destruksi –diri pada pribadi manusia- yang memberikan training
khusus untuk menangani masalah bunuh diri.
2.
Pemerintah dan
masyarakat diharapkan memberikan lebih banyak jaminan keamanan dan jaminan
social kepada anak-anak dan semua warga Negara, agar mereka terlindung dan
sehat mentalnya; sehingga bisa bebas mengaktualisasikan diri secara aktif,
untuk menegakkan martabat dirinya.
3.
Secepat mungkin
melakukan restaurasi pada pola-pola kelembagaan formal yang cukup berwibawa,
dan sesuai dengan tuntutan hidup modern. “wibawa”
dalam pengertian bisa menegakkan standar, moralitas, dan disiplin nasional,
norma-norma, dan nilai-nilai hidup baik/benar, yang dipatuhi orang banyak; dan
mampu mengontrol serta mengatur perilaku warga masyarakat dalam tata hidup yang
hygienis secara mental dan social.
4.
Dianjurkan agar
organisasi-organisasi kemasyarakatan lebih banyak memberikan penekanan pada
pembentukan kontak-kontak social lebih akrab.
5.
Memberikan lebih banyak
bimbingan psikologis untuk memupuk integritas psikologis/ kejiwaan.
6.
Memberikan bimbingan
psikologis psikiatris kepada orang-orang yang mempunyai kecenderungan untuk
melakukan perbuatan bunuh diri,
a)
Memperkuat inegrasi
kejiwaan dan
b)
Memperlancar
fungsi-egonya untuk mengikuti jalan hidup yang sehat.
7.
HASIL
SURVEI KASUS BUNUH DIRI
a)
Survei
peringkat kasus bunuh diri tertinggi di seluruh dunia
Menurut versi okezone.com - korea selatan , jepang
dan belgia merupakan tiga Negara yang memiliki angka bunuh diri terbesar di
dunia. Di antara negara berkembang, Korea Selatan dan Jepang merupakan negara
dengan angka bunuh diri tertinggi di dunia. Rata-rata dari 100.000 orang,
sebanyak 24,8 melakukan bunuh diri, sementara Jepang sebanyak 24. Diikuti
Belgia 21,3 dan Finlandia 20,35. Di Amerika Serikat, terdapat 11,1 orang yang
melakukan bunuh diri di antara 100.000.
Seorang ahli kejiwaan Hong Kong Paul Yip menyatakan,
sejak krisis finansial tahun lalu, pasien yang mengunjungi kliniknya meningkat
drastis, dan permasalahan mereka rata-rata sama, yaitu masalah ekonomi.
"Bekerja sangat penting bagi orang Asia karena kita tidak akan medapat jaminan sosial tanpa bekerja. Kehilangan pekerjaan berhubungan dengan kehilangan "muka" sehingga mendapat trauma besar sekali," kata Yip.
"Bekerja sangat penting bagi orang Asia karena kita tidak akan medapat jaminan sosial tanpa bekerja. Kehilangan pekerjaan berhubungan dengan kehilangan "muka" sehingga mendapat trauma besar sekali," kata Yip.
Relatif kecilnya angka bunuh diri di negara Barat
dibanding Asia, karena terapi mental sangat umum di sana. Untuk itu, pemerintah
di negara Asia dipandang perlu untuk menekan bunuh diri dengan memperbanyak
konseling mental (Yip).
Versi tempo interaktif-
- Jepang merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat bunuh diri
tertinggi di dunia. Setiap tahunnya, lebih dari 30 ribu kasus bunuh diri
terjadi di negeri ini. Pada 2003, Jepang memiliki tingkat bunuh diri tertinggi
sepanjang sejarah negara itu.
Saat itu dari 34 ribu kasus, tiga perempat pelaku
bunuh diri adalah laki-laki dan sepertiganya berusia lebih dari 6- tahun.
Selain masalah kesehatan, tekanan ekonomi menjadi pemicunya. Menurut Yukio
Saito, Kepala Hotline Phone of Life Jepang, bila kasus bunuh diri dewasa
meningkat, kasus bunuh diri anak juga meningkat. "Anak-anak mudah terpengaruh
lingkungannya," kata dia.
Tahun 2010, lebih dari 32 ribu
kasus bunuh diri terjadi di Jepang. Perdana Menteri Naoto Kan menganggap resesi
ekonomi dunia menjadi salah satu penyebab.
Selain Jepang, negara-negara di Eropa
timur juga menduduki peringkat teratas kasus bunuh diri di dunia. Lithuania,
Russia, Belarus, Latvia dan Estonia merupakan lima negara dengan kasus
tertinggi.
WHO menegaskan bahwa tidak semua
tindakan bunuh diri dapat dicegah, tetapi mayoritas bisa diantisipasi. Seperti
yang dilakukan di Sri Lanka dengan membatasi akses seseorang terhadap
"alat" bunuh diri seperti regulasi pestisida. Hasilnya, di negara
ini, angka kematian akibat bunuh diri berkurang separuh antara tahun 1995
hingga 2005.
Sementara Amerika Serikat melalui
Angkatan Udaranya, menciptakan program deteksi indikator bunuh diri dan
mengurangi prevalensi faktor risiko terkait bunuh diri. Dengan program ini
angka bunuh diri menurun dari 15,8 per 100.000 di tahun 1995 menjadi 6 per
100.000 pada 2002.
Di Hongkong, pembuatan standar
pelaporan media massa dengan mengikuti standar WHO untuk tidak menampilkan
detail perilaku bunuh diri (foto, metode bunuh diri) dan tidak membuat berita
sensasional dapat mencegah adopsi metode bunuh diri copycat atau meniru.
Negara Inggris menerapkan program
kampanye dan sosialisasi pengetahuan klinis tentang bunuh diri. Program ini
melibatkan para profesional, terutama yang terkait dengan kesehatan jiwa
sebagai ujung tombaknya. Terbukti efektif mengurangi pelaku bunuh diri
b)
Survei
kasus bunuh diri di Indonesia menurut vivanews tahun 2009
Menurut data dari Kepolisian Wilayah
Banyumas, dalam tempo empat bulan sejak Januari hingga April 2008, rakyat
miskin yang melakukan bunuh diri di wilayah yang kecil tersebut sudah mencapai
28 orang. menggunakan seutas tali atau minum racun serangga untuk mengakhiri
hidupnya. Dan seluruh kasus tersebut disebabkan mereka tidak kuat menahan
kemiskinan yang kian melilit hidupnya. tahun 2007 ada 59 kasus bunuh diri
terjadi di daerahnya.
Provinsi Bali, berdasarkan data yang dihimpun
Kepolisian Daerah Bali selama lima bulan tahun 2008 sebanyak 70 kasus,
sementara tahun 2009 ada 39 kasus.
Namun caranya berbeda, justru kasus yang terbanyak
melakukan bunuh diri dengan cara gantung diri sebanyak 36 orang, minum racun
dua kasus, menceburkan diri ke sumur satu kasus. Pelakunya, sebagian besar
dilakukan laki-laki. Untuk tahun ini sebesar 24 orang, sementara perempuan ada
15 orang. Sedangkan tahun 2008 ada 52 orang laki-laki dan 18 orang perempuan.
Untuk tingkat usia terbanyak 46-80 tahun ada 14 kasus, 26-45 tahun
ada 12 kasus, dan 16-25 tahun dan 5-15 tahun masing-masing ada 11 dan 2.
latar belakang para
pelaku bunuh diri karena sakit yang menahun ada 25 kasus, terhimpit masalah
ekonomi 5 kasus, dan frustasi ada 9 kasus. terbesar dilakukan petani sebanyak
22 kasus, swasta 10 kasus, buruh dan pelajar masing-masing 5 dan dua kasus.
Sementara pada lima tahun terakhir, berdasarkan data yang
diluncurkan forensik FKUI/RSCM 2004 terdapat 771 orang laki-laki bunuh diri dan
348 perempuan bunuh diri. Dari jumlah tersebut, 41 persen melakukan bunuh diri
dengan cara gantung diri, dengan menggunakan insektisida 23 persen, dan
overdosis mencapai 356 orang.
Pada tahun 2005, tingkat bunuh diri di Indonesia dinilai masih cukup tinggi. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2005, sedikitnya 50.000 orang Indonesia melakukan tindak bunuh diri tiap tahunnya. Dengan demikian, diperkirakan 1.500 orang Indonesia melakukan bunuh diri per harinya.
Sementara untuk tahun 2007, terdapat 12 korban bunuh diri karena terimpit persoalan ekonomi, delapan kasus lainnya akibat penyakit yang tak kunjung sembuh lantaran tidak punya uang untuk berobat, dan dua kasus akibat persoalan moral yakni satu orang lantaran putus cinta, dan seorang akibat depresi.
Lalu pada 2008, berdasarkan data sejak awal 2008 hingga bulan April sudah ada 11 kasus bunuh diri yang terjadi di Kabupaten Banyumas atau rata-rata tiap bulannya hampir tiga kasus.
Pada tahun 2005, tingkat bunuh diri di Indonesia dinilai masih cukup tinggi. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2005, sedikitnya 50.000 orang Indonesia melakukan tindak bunuh diri tiap tahunnya. Dengan demikian, diperkirakan 1.500 orang Indonesia melakukan bunuh diri per harinya.
Sementara untuk tahun 2007, terdapat 12 korban bunuh diri karena terimpit persoalan ekonomi, delapan kasus lainnya akibat penyakit yang tak kunjung sembuh lantaran tidak punya uang untuk berobat, dan dua kasus akibat persoalan moral yakni satu orang lantaran putus cinta, dan seorang akibat depresi.
Lalu pada 2008, berdasarkan data sejak awal 2008 hingga bulan April sudah ada 11 kasus bunuh diri yang terjadi di Kabupaten Banyumas atau rata-rata tiap bulannya hampir tiga kasus.
Adapun faktor psikologi yang mendorong orang bunuh diri adalah
dukungan sosial kurang, baru kehilangan pekerjaan, kemiskinan, huru-hara
psikologi, konflik berat pengungsi dan sebagainya.
Sementara berdasarkan data dari Sumber Wahana Komunikasi Lintas Spesialis menunjukan, di Indonesia tidak ada data nasional secara spesifikasi tentang bunuh diri.
Namun laporan di Jakarta menyebutkan sekitar 1,2 per 100.000 penduduk dan kejadian bunuh diri tertinggi di Indonesia adalah Gunung Kidul, Yogyakarta mencapai 9 kasus per 100.000 penduduk.
Adapun kejadian bunuh diri tertinggi berada pada kelompok usia remaja dan dewasa muda (15 – 24 tahun), untuk jenis kelamin, laki laki melakukan bunuh diri (comite suicide) empat kali lebih banyak dari perempuan. Namun, perempuan melakukan percobaan bunuh diri (attemp suicide) empat kali lebih banyak dari laki laki.
Posisi Indonesia sendiri hampir mendekati negara-negara bunuh diri, seperti Jepang, dengan tingkat bunuh diri mencapai lebih dari 30.000 orang per tahun dan China yang mencapai 250.000 per tahun.
Sementara berdasarkan data dari Sumber Wahana Komunikasi Lintas Spesialis menunjukan, di Indonesia tidak ada data nasional secara spesifikasi tentang bunuh diri.
Namun laporan di Jakarta menyebutkan sekitar 1,2 per 100.000 penduduk dan kejadian bunuh diri tertinggi di Indonesia adalah Gunung Kidul, Yogyakarta mencapai 9 kasus per 100.000 penduduk.
Adapun kejadian bunuh diri tertinggi berada pada kelompok usia remaja dan dewasa muda (15 – 24 tahun), untuk jenis kelamin, laki laki melakukan bunuh diri (comite suicide) empat kali lebih banyak dari perempuan. Namun, perempuan melakukan percobaan bunuh diri (attemp suicide) empat kali lebih banyak dari laki laki.
Posisi Indonesia sendiri hampir mendekati negara-negara bunuh diri, seperti Jepang, dengan tingkat bunuh diri mencapai lebih dari 30.000 orang per tahun dan China yang mencapai 250.000 per tahun.
1 komentar:
Lucky Club Casino site and software review.
Lucky Club Casino is a brand of gambling site that was founded in 2019. The site is luckyclub owned and operated by Betway Group. The site has a good reputation.
Posting Komentar