Selasa, 02 Februari 2016

MAKALAH TENTANG KESEHATAN



1.      PENDAHULUAN
Jumlah orang yang melakukan perbuatan bunuh diri semakin meningkat di Negara-negara maju dengan semakin menanjaknya kesejahteraan hidup dan kompleksnya masyarakat. Sebagai contoh, di negara Swedia, Amerika Serikat. Denmark dan Jepang dengan tingkat kesejahteraan yang sangat tinggi justru terdapat peningkatan yang mencolok dari peristiwa bunuh diri. Masalah bunuh diri ini erat kaitannya dengan pandangan hidup bangsa-bangsa tersebut dalam menghayati moralitas, perbuatan normative, dan relasi manusia dengan orang lain, dan dengan Tuhan. Bahkan pada saat-saat tertentu perbuatan bunuh diri dianggap sebagai kebiasaan social penuh kehormatan, dan sarat dengan nilai-nilai normative tinggi.
Bunuh diri adalah perbuatan dengan sengaja, dan bertujuan secara sadar mengambil jiwanya sendiri. Frekuensi bunuh diri di kalangan kaum bangsawan pada zaman mesir, roma, turki, di masa pemerintahan kemal Ataturk, kerajaan-kerajaan cina, dan jepang, dianggap oleh para pelakunya sebagai kebiassaan social penuh kemurnian dan kehormataan. Juga dapat dilihat sebagai perbuatan penebusan dan penyelamatan harga diri, agar langgeng di alam keabadian. Contoh peristiwa harakiri, yaitu perbuatan bunuh diri yang dilakukan oleh kaum samurai secara ritualistik dengan menyobek perut sendiri oleh kaum samurai dan pria jepang yang berderajat tinggi, disebabkan karena mereka merasa mengalami aib atau malu besar, maka itu haru ditebus dengan harakiri.
Suttee, yaitu mati-obong atau mati diatas pancaka (api pembakar) yang dilakukan oleh para janda di India tengah, didorong oleh tekanan tradisi harus rela bela-mati dengan membakar diri dilakukan di kalangan orang- orang Eskimo dengan tujuan meringankan suku mereka dari beban memelihara orang-orang yang tidak produktif.
Semasa kerajaan jawa dan bali “mati obong banyak dilakukan unuk menyatakan kesetiaan, kecintaan yang suci, dan penebusan secara sukarela kepada suami yang meninggal dunia. Ini didorong oleh tradisi dan paksaan opini umum; bahkan merupakan  kepantasan, kepastian, atau tuntutan social yang harus dilakukan oleh para wanita untuk menunjukan kesetiaan dan kesuciannya kepasa mendiang suaminya.
Suttee telah dihapuskan oleh pemerintah inggris pada tahun 1828. Sedangkan mati-obong dilarang oleh pemerintah belanda kira-kira pada akhir abad ke 19. Kemudian harakiri secara seremonial pun lenyap, disebabkan oleh perubahan social di jepang khususnya sesudah perang dunia II.

2.      DEFINISI DAN CIRI-CIRI KARAKTERISTIK
Menurut aliran human behavior, bunuh diri adalah bentuk pelarian diri yang paling parah dari dunia nyata, atau lari dari situasi yang tidak bisa ditolerir, atau merupakan bentuk  regressi ingin kembali pada keadaan nikmat nyaman, tentram.
Definisi : bunuh diri ialah perbutuan manusia yang disadari yang bertujuan untuk menyakiti diri sendiri dan menghentikan kehidupan sendiri.
Dalam kalimat ini ada 5 hal yang penting, yaitu :
1)      Merupakan perbuatan manusia
2)      Ada keinginan yang disadari untuk mati
3)      Memiliki motivasi-motivasi tertentu
4)      Bertujuan menggapai kematian
5)      Ada introspeksi penuh kesadaran mengenai satu konsep tentang kematian atau penghentian kehidupan.
Beberapa definisi lainnya, antara lain :
o   Bunuh diri adalah satu jalan untuk mengatasi macam-macam kesulitan pribadi, misalnya berupa rasa kesepian, dendam, takut, kesakitan, fisik, dosa, dan lain-lain.
o   Bunuh diri adalah keinginan yang mendorong suatu perbuatan untuk melakukan destruksi/pengrusakan diri sendiri.
o   Bunuh diri ialah derajat efektiviitas satu perbuatan yang disengaja dan bertujuan untuk mengakibatkan kematian.
Perbuatan bunuh diri dapat digolongkan dalam 2 tipe, yaitu yang konvensional dan yang personal.
Bunuh diri konvensional adalah produk dari tradisi dan paksaan dari opini umum untuk mengikuti criteria kepantasan, kepastian social, dan tuntutan social. Bunuh diri tipe ini merupakan bagian dari tradisi dan gaya hidup suatu suku atau bangsa. Perbuatan bunuh  diri tipe ini sudah banyak dihapus, sebagian disebabkan oleh pengaruh-pengaruh bangsa lain, atau oleh tekanan dan paksaan bangsa lain, dan sebagian lagi disebabkan oleh banyaknya perubahan pada kondisi-kondisi social.
Sebaliknya bunuh diri personal, khas banyak terjadi pada masa modern, karena orang merasa lebih bebas dan tidak mau tunduk pada aturan. Orang tidak ingin terlalu terikat oleh kebiasaan-kebiasaan yang ada untuk memecahkan kesulitan hidupnya. Sebaliknya mereka mencari jalan  singkat dengan caranya sendiri, yaitu bunuh diri, utnuk mengatasi kesulitan hidupnya, atas keputusan sendiri. Karena itu peristiwa bunuh diri adalah bentuk kegagalan seseorang dalam upayanya menyesuaikan diri tehadap tekanan-tekanan social dan tuntutan-tuntutan hidup.
Factor yang mempengaruhi atau turut mempengaruhi kemauan bunuh diri adalah bermacam-macam sehingga memaksa pribadi perorangan atau sekumpulan orang untuk melakukan  perbuatan bunuh diri, antara lain : religi, jenis kelamin, pendidikan, profesi, doktrin, usia, dan lain-lain. Laki-laki lebih banyak melakukan tindakan bunuh diri daripada kaum wanita. Hal ini disebabkan karena kaum laki-laki memiliki banyak keberanian, keteguhan kemauan, dan kekuatan fisik yang lebih besar untuk menyakiti dan merusak diri sendiri sampai pada kematiannya.
Factor-faktor yang lain yang memberikan kontribusi pada tindakan bunuh diri antara lain ialah factor sosiologis, berupa disintegrasi dan disorganisasi social yang mengakibatkan disintegrasi-disorganisasi pribadi/personal, masa-masa krisis, peristiwa erosi dari norma-norma dan nilai-nilai. Factor ekonomi, antara lain berupa status ekonomi, depresi ekonomi, jatuh miskin secara mendadak, dan lain-lain. Factor politik, misalnya berupa perubahan-perubahan iklim politik dengan macam-macam tekanannya, perubahan peranan dalam dunia politik, dan lain-lain. Factor pendidikan, misalnya kegagalan studi.
Beberapa cirri karakteristik dari orang-orang yang cenderung melakukan dan sudah melakukan perbuatan bunuh diri, antara lain :
1)      Ada perasaan tanpa harapan, tidak berdaya, sia-sia, sampai pada jalan buntu, merasa tidak mampu mengatasi segala kesulitan dalam hidupnya.
2)      Selalu dihantui atau dikejar-kejar oleh rasa cemas, takut, tegang, depresi, marah, dendam, dosa, atau bersalah.
3)      Hilangnya kegairahan hidup, hilang minat terhadap aktivitas-aktivitas sehari-hari, pupus kegairahan seksnya, tanpa minat terhadap masyarakat sekitar.
4)      Penderita pernah sekali atau beberapa kali mencoba melakukan upaya bunuh diri.

Dengan melihat adanya cirri-ciri karakteristik tersebut di atas, terang bagi kita bahwa para penderita tersebut mengalami gangguan atau penyakit mental, jadi ada ketidaksehatan mental pada diri mereka.
3.      ASPEK SOSIOLOGIS PERBUATAN BUNUH DIRI
Pada zaman romawi kuno peristiwa bunuh diri di kalangan kaum bangsawan disebut sebagai kejadian yang terhormat penuh unsure kemuliaan, dan menjadi bagian dari alat kebiasaan sosial. Namun pada zaman revolusi Perancis, bunuh diri bukan lagi menjadi bagian dari adat-istiadat yang dinilai tinggi, akan tetapi dianggap sebagai kegagalan tingkah laku manusia atau penyakit mental. Dari asumsi diatas, yang kemudian melatarbelakangi teori psikologis yang menyatakan bahwa bunuh diri disebabkan oleh kegilaan atau kelemahan karakter atau ketidakimbangan jiwa (teori Dahlgren, 1945; Achille-Delmas,1932; Deshaies, 1947). Selain itu teori sosiologis juga menyatakan, bahwa bunuh diri disebabkan oleh kegagalan dari control normative pada individu oleh masyarakat (Briere de Boismont,1856,Morselli, 1879 dan Emile Durkheim, 1897).

Pada abad ke-19, peristiwa bunuh diri berkaitan dengan opini dan interprestasi orang mengenai kehampaan hidup didunia dan keindahan dunia keabadian sesudah mati, yang banyak diajarkan oleh kaum rokhaniawan. Ditambah dengan kurangnya disipin diri, berkembangnya egoisme dan materalisme dan peristiwa-peristiwa disorganisasi moral yang menjalar dengan pesat

Bunuh diri juga dianggap sebagai gerakan romantic atau symbol romantisisme, yaitu melambangkan seorang pengembara yang kesepian dan terisolir yang tengah mencari kesia-siaan dan hal-hal yang tidak mungkin bisa dicapai ditengah masyarakat manusia. Kemudian orang menjadi semakin melankolis dan keranjingan pada keabadian (kematian, kehidupan abadi). Kesepian dan isolasi menakibatkan melankoli atau kesedihan dan selanjutnya menumbuhkan rasa-rasa kerinduan pada kematian dan perbuatan bunuh diri, dengan demikian pada abad ke-19 bunuh diri menjadi model mitis (mitos) dalam kehidupan manusia.
Adolphe Quetelet seorang sosiolog menyatakan, bahwa setiap “system sosial” yang stabil akan menghasilkan satu tipe kepribadian yang rata-rata stabil, contohnya apabila dalam suatu masyarakat berkumpul menjadi satu kelompok masyarakat dengan tata kehidupan dan atauran tertentu untuk mengendalikan tingkah laku setiap anggotanya. sedangkan masyarakat dan moral-moralnya masyarakat yang mempunyai sifat menekan menjadi penyebab utama terjadinya kasus bunuh diri. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan otoritas moral eksternal untuk mengatur masyarakat dan menetapkan pola tingkah laku manusianya.tanpa otoritas moral eksternal ini akan muncul egoism ekstrim anomi, fatalism disintegrasi sosial dan personal, kekacauan, ketidakseimbangan, tanpa kesatuan dan persatuan atau kohesi dan tidak adanya kejelasan. Semua ini menuju pada khaos, yang memunculkan disintegrasi-disorganisasi personal dan bisa mendorong orang melakukan perbuatan bunuh diri.

Para sarjana dinegara-negara Barat kemudian sampai pada prinsip umum yang mengemukakan pendapat sebagai berikut:
a.       Urbanisasi akan berhubungan langsung dengan tingginya angka bunuh diri.
b.      Industrialisasi dan kesejahteraan, kedua-duanya akan berhubungan langsung dengan tingginya angka bunuh diri di Negara-negara Eropa  pada abad ke-19 dan di Negara-negara yang sudah maju dan berkembang pada abad modern seperti sekarang ini.
c.       Periode-periode penuh disorganisasi dan reorganisasi, seperti masa-masa perang, akan menurunkan angka kematian bunuh diri karena system pencatatan tidak banyak melaporkannya dan lebih banyak tugas-tugas penting lainnya yang harus dikerjakan ditambah dengan mobilisasi ketahanan mental penduduk  pada umumnya.
d.      Semakin terintegrasi satu kelompok sosial primer dan semakin merasa pedih mereka kehilangan anggota yang melakukan bunuh diri, maka semakin besar usaha mereka untuk menyembunyikan peristiwa bunuh diri itu.

            Maurice Halbwachs (1930) kemudian menggembangkan teorinya sebagai satu suplemen dari teori Durkheim mengenai bunuh diri dengan teori sosiologis yang radikal. Ia menyatakan bahwa “Ada kolerasi yang tinggi antara angka kematian bunuh diri dengan kompleksitas satu masyarakat. Misalnya gaya hidup atau system sosiokultural pedesaan yang lebih sederhana daripada gaya hidup perkotaan oleh karena itu angka kematian bunuh diri didaerah pedesaan juga jauh lebih rendah daripada angka kematian didaerah perkotaan”.

Disorganisasi sosial disebabkan oleh sangat kompleksnya masyarakat perkotaan dengan adanya mekanisasi, teknologi, industrialisasi, transportasi, komunikasi yang kemudian memunculkan banyak disorganisasi personal tersebut memanifestasikan diri dalam pola-pola:
         “Semakin tidak mampunya orang-orang kota mengatasi situasi-situasi krisis yang dihadapi sehari-hari, karena itu banyak agensi kasus bunuh diri membuktikan, bahwa ada kolerasi akrab antara tingginya angka bunuh diri dengan disintegrasi sosial.”

Inti teori sosiologis yang mutakhir menyatakan bahwa semakin terintegrasi secara sosial atau semakin kurang konfliktius satu perangkat  status-status, seperti usia, ras, status marital, profesi atau pekerjaan, sekolah, jaminan hari tua dan lain-lain yang dimiliki anggota-anggota masyarakat, maka semakin sedikit asosiasi kondisi tersebut dengan peristiwa bunuh diri.

4.      ASPEK PSIKOLOGIS PERBUATAN BUNUH DIRI
Bunuh diri merupakan perilaku manusia, yang sadar menginginkan pencabutan nyawa sendiri, beralasan motivasi-motivasi tertentu; ditambah dengan satu konsep “idealistis” mengenai kelanggengan –kebahagiaan abadi dari kematian (dengan menghentikan kehidupan sendiri).

Sigmund Freud (1917)
Freud menyatakan bahwa, bunuh diri merupakan produk dari satu proses dalam mana emosi-emosi cinta dan afeksi yang pada mulanya ditujukan kepada objek seseorang (yang kemudian diinternalisasikan dalam diri sendiri), namun cintanya ditolak; lalu ia mengalami frustrasi. Peristiwa ini menimbulkan rasa amarah, benci dan sikap bermusuh. Oleh karena itu, bunuh diri bisa dilihat dari segi pandangan psikoanalisa bisa dianggap sebagai pembunuhan dalam 180-derajat. Tetapi sekarang ini kita memahami bahwa, orang-orang tertentu membunuh dirinya sendiri beralaskan satu deretan motif-motif yang dirasakan secara jiwani. Jadi bukan hanya berdasarkan kebencian dan pembalasan dendam saja, akan tetapi juga didorong oleh rasa malu, emosi, ketergantungan, rasa bersalah/berdosa, loyalitas, rasa sakit hati dan bosan.
Jadi, untuk memahami kejadian bunuh diri, orang perlu mengenal perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran, fungsi-fungsi ego dan konflik-konflik internal individu; di samping memahami bagaimana caranya orang tersebut, mengintegrasikan diri sendiri dengan sesama warga masyarakat ; dan berapa besar partisipasi dirinya secara moral sebagai anggota kelompok-kelompok social tempat hidupnya.

Menninger  (1938), mengklasifikasikan gejala-gejala sub bunuh diri ke dalam:
1.      Bunuh diri kronis: asketisisme, kesyahidan atau martyrdom, adiksi atau kecanduan obat-obatan, invalidisme, psikosa.
2.      Bunuh diri fokal (titik temu): pemotongan atau pengrusakan diri, pura-pura sakit, kecelakaan-kecelakaan ganda, impotensi dan frigiditas.
3.      Bunuh diri organic: mencakup factor-faktor organic psikologis dalam penyakit-penyakit organic.
Campuran dari penggolongan lain yang mencakup tipe bunuh diri adalah sebagai berikut:
1.      Bunuh diri sebagai komunikasi
2.      Bunuh diri sebagai balas dendam
3.      Bunuh diri sebagai kejahatan fantasi
4.      Bunuh diri selaku pelarian diri yang tidak disadari
5.      Bunuh diri sebagai selaku kebangkitan kembali atau reuni magis
6.      Bunuh diri sebagai kelahiran kembali, dan pemulihan atau ganti rugi.

1.      Menninger (1938), menambah 3 unsur dalam bunuh diri yaitu: keinginan untuk membunuh, untuk dibunuh dan keinginan untuk mati, sedangkan Zilboorg (1936), menganggap bunuh diri sebagai cara untuk menghalang-halangi kekuatan-kekuatan eksternal yang masuk dalam diri sendiri dan sebagai satu metode untuk mencapai keabadian.
2.      O’Connor (1948), pada peristiwa bunuh diri ada perasaan bahwa pribadi yang bersangkutan akan mencapai kemahakuasaan dengan jalan kembali menuju ke kekuatan narsisisme.
3.      Palmer (1941), mensugestikan bahwa perkembangan psikoseksual yang tertahan/terhalang-halangi sebagai akibat dari ketidak-bersediaan atau penolakan figure-figur penting da;lam taraf perkembangan yang gawat, metrupakan mekanisme asasi bagi terjadinya peristiwa bunuh ditri. Garma (1943), menekankan kehilangan satu objek-cinta yang penting artinya bagi seorang pribadi; dan kemudian menggunakan jalan bunuh diri untuk memulihkan kepedihan hatinya.
4.      Bergler (1946), melukiskan (a) bunuh diri introyeksi, sebagai satu agresi terhadap perasaan-perasaan bersalah atau berdosa, (b) bunuh diri histeris, sebagai dramatisasi bagaimana seseorang itu benar-benar tidak senang diperlakukan dengan cara tertentu, (c) bunuh diri yang serbaneka, seperi schizophrenia paranoid yang mereaksi terhadap suara-suara tertentu.

Maka factor-faktor psikologis itu benar-benar merupakan inti penggerak bagi usaha bunuh diri. Factor-faktor ini tidak hanya mencakup status pribadi sekarang dan konstelasi psikodinamis individu yang bersangkutan, akan tetapi juga motivasi-motivasi, alasan-alasan perbuatannya, pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan yang menuntun pada perbuatan bunuh diri, di samping hubungan interpersonal dan intrapersonal.
Motivasi-motivasi interpersonal, dalam kasus bunuh diri terjadi apabila pribadi yang melakukan tindak bunuh diri tersebut lewat perbuatannya berusaha untuk memengaruhi terjadinya perubahan sikap pada orang lain. Karena itu, bunu diri dapat dilihat sebagai alat untuk memengaruhi, membujuk, mendesak, memaksa, memanipulasikan dan memulihkan perasaan-pikiran-perbuatan orang lain. Orang lain disini adalah pribadi yang mempunyai hubungan yang dekat seperti, suami/isteri, tunangan atau anggota keluarga. Perbuatan bunuh diri juga digunakan sebagai ekspresi dari kemarahan, penolakan dan pemaksaan kesediaan untuk mengubah perilaku pada orang-orang lain atau untuk menumbuhkan perasaan bersalah kepada mereka.
Motivasi-motivasi intrapersonal, paling banyak muncul pada orang-orang yang lebih tua dalam mana:
1.      Telah banyak hilang emosi ikatan-ikatan dengan pribadi-pribadi lain.
2.      Pribadi merasakan adanya tekanan-tekanan dan ketegangan dari dalam, dan perlunya melakukan satu perbuatan penting yaitu bunuh diri.
3.      Merasa bahwa kaitan-kaitan dengan orang-orang dekat dengan dirinya sudah sangat longgar; misalnya karena di tinggal mati, anak-anak sudah berumah tangga sendiri-sendiri, badan sudah sakit dan dilupakan.
4.      Muncul kemudian emosi-emosi yang sangat kuat berupa perasaan amat kesepian, merasa tidak diperlukan lagi, tidak bisa bekerja efektif dan merasa sudah tidak punya apa-apa lagi.

Kasus bunuh diri pada umumnya banyak terjadi pada usia 14-50 tahun; namun lebih separuhnya dilakukan oleh orang-orang dengan usia sekitar 30-an. Hal ini mengindikasikan, bahwa factor-faktor eksternal dan social , missal keluarga, masyarakat lingkungan sekitar dan lembaga-lembaga social yang ada itu bisa ikut memainkan peranan penting dalam usaha mengatasi dan mencegah perbuatan bunuh diri; yaitu ikut membatali penderitaan batin dan menolong penderitaan batin, dan menolong penderitanya dari kesulitannya. Di samping itu lembaga-lembaga agama bisa ikut memainkan peranan dalam membimbing kesehatan jiwa para penderita, dan mencegah perilaku bunuh diri.

5.      UPAYA PREVENTIF DAN PENGONTROLANNYA
Bunuh diri merupakan gejala personal juga merupakan gejala sosial yang kompleks. Pada saat masa-masa krisis dan sulit serta menghadapi ancaman bahaya besar, jarang sekali orang-orang melakukan tindakan bunuh diri. Berbeda dengan masa-masa dimana seseorang penuh kejayaan dan kemakmuran, dengan berbagai macam fasilitas dan kenikmatan hidup,  justru banyak orang muda yang putus asa dan melakukan bunuh diri: yaitu didorong oleh rasa kejemuan dan kekosongan jiwa pada masa kemakmuran. Hal ini mengindikasikan, bahwa gairah hidup dan semangat mempertahankan diri pada kelompok disaat-saat kritis itu benar-benar menyerap segenap energy dan potensi individu untuk tetap bertahan hidup disaat-saat yang sangat sulit.
Sekalipun trauma atau kepedihan mental bisa mendorong seseorang melakukan perbuatan bunuh diri, namun sumbernya terletak pada kondisi disorganisasi sosial, yang pada saatnya akan menyebabkan disorganisasi personal. Disorganisasi sosial ialah Proses memudarnya atau melemahnya norma-norma dan nilai-nilai
sosial  dalam masyarakat karena adanya perubahan sosial dan budaya. Perubahan yang serba cepat ini disebabkan oleh proses urbanisasi, industrialisasi, mekanisasi dan teknologi canggih, mengakibatkan banyak ketidakstabilan. Kejadian ini menimbulkan rasa kesepian, ketakutan, kecemasan, kebingungan, kekacauan fikir, dll. Dan dalam keputusasaan orang melakukan bunuh diri membuktikan, bahwa ada korelasi akrab antara tingginya angka bunuh diri dengan disorganisasi sosial.
Motif-motif Bunuh Diri
Motif seseorang bunuh diri bervariasi, misalnya karena rasa kehilangan kehormatan, runtuhnya posisi sosial, hapusnya kebebasan berdiri, kegagalan bercinta, rasa aib dan malu besar, kesulitan dalam relasi seksual yang kronis, serta masih banyak lagi.
Namun, ada satu faktor penyebab saja, yang mendorong orang bisa melakukan tindakan bunuh diri, adanya permusuhan diri yang sudah didahului oleh frustasi-frustasi berat dan konflik-konflik emosional yang sangat parah, sehingga mempercepat keinginan orang untuk melakukan perbuatan bunuh diri. Ketakutan asasi dalam kehidupan kejiwaan yang sering mengusik ketenangan batin dan banyak menimbulkan stress dan konflik batin ialah : ketakutan, kecemasan, dendam, benci, nafsu membalas, agresivitas, dan rasa berdosa/bersalah. Krisis pribadi dan Krisis sosial di tengah masyarakat turut memperkuat keinginan orang untuk melarikan diri dari realitas hidup yang dirasakan seperti tidak bertanggung jawab; lalu orang melakukan bunuh diri.
Ringkasnya bunuh diri disebabkan oleh bertemunya dua faktor yang saling mempengaruhi, yaitu :
1.      ketidakstabilan/ ketidaksehatan mental, konflik-konflik emosional, kelicikan dan kelemahan pribadi, tidak berani menghadapi tantangan kesulitan hidup (banyak tendens melarikan diri), depresi organic, dan ketidakimbangan antara dorongan hidup melawan hasrat ketergantungan infantile si penderita;
2.      dan oleh bentuk-bentuk disorganisasi-disintegrasi sosial ditengah masyarakat, yang pada saatnya akan memprousir disorganisasi-disintegrasi personal pada perorangan.
6.      CARA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
Untuk mengurangi kasus bunuh diri, mencegah, dan menyembuhkan para penderita yang telah gagal melakukan bunuh diri, disarankan agar pemerintah dan masyarakat dapat melakukan kegiatan sebagai berikut :
1.            Mendirikan Pusat Studi tentang pencegahan Bunuh diri  dibawah naungan Lembaga Hygiene Mental ; gerakan disiplin ilmu multi disipliner yang disebut SUICIDOLOGY- studi humani dan ilmiah mengenai destruksi –diri pada pribadi manusia- yang memberikan training khusus untuk menangani masalah bunuh diri.
2.            Pemerintah dan masyarakat diharapkan memberikan lebih banyak jaminan keamanan dan jaminan social kepada anak-anak dan semua warga Negara, agar mereka terlindung dan sehat mentalnya; sehingga bisa bebas mengaktualisasikan diri secara aktif, untuk menegakkan martabat dirinya.
3.            Secepat mungkin melakukan restaurasi pada pola-pola kelembagaan formal yang cukup berwibawa, dan sesuai dengan tuntutan hidup modern. “wibawa” dalam pengertian bisa menegakkan standar, moralitas, dan disiplin nasional, norma-norma, dan nilai-nilai hidup baik/benar, yang dipatuhi orang banyak; dan mampu mengontrol serta mengatur perilaku warga masyarakat dalam tata hidup yang hygienis secara mental dan social.
4.            Dianjurkan agar organisasi-organisasi kemasyarakatan lebih banyak memberikan penekanan pada pembentukan kontak-kontak social lebih akrab.
5.            Memberikan lebih banyak bimbingan psikologis untuk memupuk integritas psikologis/ kejiwaan.
6.            Memberikan bimbingan psikologis psikiatris kepada orang-orang yang mempunyai kecenderungan untuk melakukan perbuatan bunuh diri,
a)            Memperkuat inegrasi kejiwaan dan
b)            Memperlancar fungsi-egonya untuk mengikuti jalan hidup yang sehat.

7.      HASIL SURVEI KASUS BUNUH DIRI
a)      Survei peringkat kasus bunuh diri tertinggi di seluruh dunia
Menurut versi okezone.com - korea selatan , jepang dan belgia merupakan tiga Negara yang memiliki angka bunuh diri terbesar di dunia. Di antara negara berkembang, Korea Selatan dan Jepang merupakan negara dengan angka bunuh diri tertinggi di dunia. Rata-rata dari 100.000 orang, sebanyak 24,8 melakukan bunuh diri, sementara Jepang sebanyak 24. Diikuti Belgia 21,3 dan Finlandia 20,35. Di Amerika Serikat, terdapat 11,1 orang yang melakukan bunuh diri di antara 100.000.
Seorang ahli kejiwaan Hong Kong Paul Yip menyatakan, sejak krisis finansial tahun lalu, pasien yang mengunjungi kliniknya meningkat drastis, dan permasalahan mereka rata-rata sama, yaitu masalah ekonomi.

"Bekerja sangat penting bagi orang Asia karena kita tidak akan medapat jaminan sosial tanpa bekerja. Kehilangan pekerjaan berhubungan dengan kehilangan "muka" sehingga mendapat trauma besar sekali," kata Yip.
Relatif kecilnya angka bunuh diri di negara Barat dibanding Asia, karena terapi mental sangat umum di sana. Untuk itu, pemerintah di negara Asia dipandang perlu untuk menekan bunuh diri dengan memperbanyak konseling mental (Yip).

Versi tempo interaktif- - Jepang merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat bunuh diri tertinggi di dunia. Setiap tahunnya, lebih dari 30 ribu kasus bunuh diri terjadi di negeri ini. Pada 2003, Jepang memiliki tingkat bunuh diri tertinggi sepanjang sejarah negara itu.
Saat itu dari 34 ribu kasus, tiga perempat pelaku bunuh diri adalah laki-laki dan sepertiganya berusia lebih dari 6- tahun. Selain masalah kesehatan, tekanan ekonomi menjadi pemicunya. Menurut Yukio Saito, Kepala Hotline Phone of Life Jepang, bila kasus bunuh diri dewasa meningkat, kasus bunuh diri anak juga meningkat. "Anak-anak mudah terpengaruh lingkungannya," kata dia.
Tahun 2010, lebih dari 32 ribu kasus bunuh diri terjadi di Jepang. Perdana Menteri Naoto Kan menganggap resesi ekonomi dunia menjadi salah satu penyebab.
Selain Jepang, negara-negara di Eropa timur juga menduduki peringkat teratas kasus bunuh diri di dunia. Lithuania, Russia, Belarus, Latvia dan Estonia merupakan lima negara dengan kasus tertinggi.
WHO menegaskan bahwa tidak semua tindakan bunuh diri dapat dicegah, tetapi mayoritas bisa diantisipasi. Seperti yang dilakukan di Sri Lanka dengan membatasi akses seseorang terhadap "alat" bunuh diri seperti regulasi pestisida. Hasilnya, di negara ini, angka kematian akibat bunuh diri berkurang separuh antara tahun 1995 hingga 2005.
Sementara Amerika Serikat melalui Angkatan Udaranya, menciptakan program deteksi indikator bunuh diri dan mengurangi prevalensi faktor risiko terkait bunuh diri. Dengan program ini angka bunuh diri menurun dari 15,8 per 100.000 di tahun 1995 menjadi 6 per 100.000 pada 2002.
Di Hongkong, pembuatan standar pelaporan media massa dengan mengikuti standar WHO untuk tidak menampilkan detail perilaku bunuh diri (foto, metode bunuh diri) dan tidak membuat berita sensasional dapat mencegah adopsi metode bunuh diri copycat atau meniru.
Negara Inggris menerapkan program kampanye dan sosialisasi pengetahuan klinis tentang bunuh diri. Program ini melibatkan para profesional, terutama yang terkait dengan kesehatan jiwa sebagai ujung tombaknya. Terbukti efektif mengurangi pelaku bunuh diri
b)     Survei kasus bunuh diri di Indonesia menurut vivanews tahun 2009
Menurut data dari Kepolisian Wilayah Banyumas, dalam tempo empat bulan sejak Januari hingga April 2008, rakyat miskin yang melakukan bunuh diri di wilayah yang kecil tersebut sudah mencapai 28 orang. menggunakan seutas tali atau minum racun serangga untuk mengakhiri hidupnya. Dan seluruh kasus tersebut disebabkan mereka tidak kuat menahan kemiskinan yang kian melilit hidupnya. tahun 2007 ada 59 kasus bunuh diri terjadi di daerahnya.
Provinsi Bali, berdasarkan data yang dihimpun Kepolisian Daerah Bali selama lima bulan tahun 2008 sebanyak 70 kasus, sementara tahun 2009 ada 39 kasus.
Namun caranya berbeda, justru kasus yang terbanyak melakukan bunuh diri dengan cara gantung diri sebanyak 36 orang, minum racun dua kasus, menceburkan diri ke sumur satu kasus. Pelakunya, sebagian besar dilakukan laki-laki. Untuk tahun ini sebesar 24 orang, sementara perempuan ada 15 orang. Sedangkan tahun 2008 ada 52 orang laki-laki dan 18 orang perempuan.
Untuk tingkat usia terbanyak 46-80 tahun ada 14 kasus, 26-45 tahun ada 12 kasus, dan 16-25 tahun dan 5-15 tahun masing-masing ada 11 dan 2.
      latar belakang para pelaku bunuh diri karena sakit yang menahun ada 25 kasus, terhimpit masalah ekonomi 5 kasus, dan frustasi ada 9 kasus. terbesar dilakukan petani sebanyak 22 kasus, swasta 10 kasus, buruh dan pelajar masing-masing 5 dan dua kasus.
Sementara pada lima tahun terakhir, berdasarkan data yang diluncurkan forensik FKUI/RSCM 2004 terdapat 771 orang laki-laki bunuh diri dan 348 perempuan bunuh diri. Dari jumlah tersebut, 41 persen melakukan bunuh diri dengan cara gantung diri, dengan menggunakan insektisida 23 persen, dan overdosis mencapai 356 orang.
                   Pada tahun 2005, tingkat bunuh diri di Indonesia dinilai masih cukup tinggi. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2005, sedikitnya 50.000 orang Indonesia melakukan tindak bunuh diri tiap tahunnya. Dengan demikian, diperkirakan 1.500 orang Indonesia melakukan bunuh diri per harinya.
                   Sementara untuk tahun 2007, terdapat 12 korban bunuh diri karena terimpit persoalan ekonomi, delapan kasus lainnya akibat penyakit yang tak kunjung sembuh lantaran tidak punya uang untuk berobat, dan dua kasus akibat persoalan moral yakni satu orang lantaran putus cinta, dan seorang akibat depresi.
                   Lalu pada 2008, berdasarkan data sejak awal 2008 hingga bulan April sudah ada 11 kasus bunuh diri yang terjadi di Kabupaten Banyumas atau rata-rata tiap bulannya hampir tiga kasus.
Adapun faktor psikologi yang mendorong orang bunuh diri adalah dukungan sosial kurang, baru kehilangan pekerjaan, kemiskinan, huru-hara psikologi, konflik berat pengungsi dan sebagainya.
                  Sementara berdasarkan data dari Sumber Wahana Komunikasi Lintas Spesialis menunjukan, di Indonesia tidak ada data nasional secara spesifikasi tentang bunuh diri.
                  Namun laporan di Jakarta menyebutkan sekitar 1,2 per 100.000 penduduk dan kejadian bunuh diri tertinggi di Indonesia adalah Gunung Kidul, Yogyakarta mencapai 9 kasus per 100.000 penduduk.
                  Adapun kejadian bunuh diri tertinggi berada pada kelompok usia remaja dan dewasa muda (15 – 24 tahun), untuk jenis kelamin, laki laki melakukan bunuh diri (comite suicide) empat kali lebih banyak dari perempuan. Namun, perempuan melakukan percobaan bunuh diri (attemp suicide) empat kali lebih banyak dari laki laki.

                   Posisi Indonesia sendiri hampir mendekati negara-negara bunuh diri, seperti Jepang, dengan tingkat bunuh diri mencapai lebih dari 30.000 orang per tahun dan China yang mencapai 250.000 per tahun.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Lucky Club Casino site and software review.
Lucky Club Casino is a brand of gambling site that was founded in 2019. The site is luckyclub owned and operated by Betway Group. The site has a good reputation.