BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah penegakan hukum adalah merupakan suatu persoalan yang
dihadapi oleh setiap masyarakat. Walaupun kemudian setiap masyarakat dengan
karakteristiknya masing-masing, mungkin memberikan corak permasalahannya
tersendiri di dalam kerangka penegakan hukumnya. Namun setiap masyarakat
mempunyai tujuan yang sama, agar di dalam masyarakat tercapai kedamaian sebagai
akibat dari penegakan hukum yang formil.
Kedamaian tersebut dapat diartikan bahwa di satu pihak
terdapat ketertiban antar pribadi yang bersifat ekstern dan di lain pihak
terdapat ketenteraman pribadi intern. Demi tercapainya suatu ketertiban dan
kedamaian maka hukum berfungsi untuk memberikan jaminan bagi seseorang agar
kepentingannya diperhatikan oleh setiap orang lain. Jika kepentingan itu
terganggu, maka hukum harus melindunginya, serta setiap ada pelanggaran hukum.
Oleh karenanya hukum itu harus dilaksanakan dan ditegakkan tanpa
membeda-bedakan atau tidak memberlakukan hukum secara diskriminatif.
Karakteristik hukum sebagai kaedah selalu dinyatakan berlaku
umum untuk siapa saja dan di mana saja dalam wilayah negara, tanpa
membeda-bedakan. Meskipun ada pengecualian dinyatakan secara eksplisit dan
berdasarkan alasan tertentu yang dapat diterima dan dibenarkan. Pada dasarnya
hukum itu tidak berlaku secara diskriminatif, kecuali oknum aparat atau
organisasi penegak hukum dalam kenyataan sosial telah memberlakukan hukum itu
secara diskriminatif. Akhirnya penegakan hukum tidak mencerminkan adanya
kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.
Penegakan hukum, tekanannya selalu diletakkan pada aspek
ketertiban. Hal ini mungkin sekali disebabkan oleh karena hukum diidentikkan
dengan penegakan perundang-undangan, asumsi seperti ini adalah sangat keliru
sekali, karena hukum itu harus dilihat dalam satu sistem, yang menimbulkan
interaksi tertentu dalam berbagai unsur sistem hukum.
B. Identifikasi Masalah
1. Mengetahui arti
penting hukum di Indonesia
2. Memahami proses
penegakan hukum di Indonesia
3. Mengetahui hubungan antara proses
penegakan hukum dengan rasa keadilan masyarakat
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Sebagai Suatu Sistem
Sistem hukum tidak hanya mengacu pada aturan (codes of rules) dan peraturan (regulations), namun mencakup bidang yang
luas, meliputi struktur, lembaga dan proses (procedure) yang mengisinya serta terkait dengan hukum yang hidup
dalam masyarakat (living law) dan
budaya hukum (legal structure).
Menurut Lawrence Friedman, unsur-unsur sistem hukum itu
terdiri dari struktur hukum (legal
structure), substansi hukum (legal
substance) dan budaya hukum (legal
culture).
Struktur hukum meliputi badan eksekutif, legislatif dan
yudikatif serta lembaga-lembaga terkait, seperti Kejaksaan, Kepolisian,
Pengadilan, Komisi Judisial, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lain-lain.
Sedangkan substansi hukum adalah mengenai norma, peraturan maupun
undang-undang.
Budaya hukum adalah meliputi pandangan, kebiasaan maupun
perilaku dari masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari
sistim hukum yang berlaku, dengan perkataan lain, budaya hukum itu adalah iklim
dari pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau
dilaksanakan.
Tanpa budaya hukum sistem hukum itu sendiri tidak akan
berdaya, seperti ikan mati yang terkapar di keranjang, bukan seperti ikan hidup
yang berenang di lautnya (without legal
culture, the legal system is inert, a dead fish lying in a basket, not a living
fish swimming in its sea). Setiap masyarakat, negara dan komunitas
mempunyai budaya hukum. Selalu ada sikap dan pendapat mengenai hukum. Hal ini
tidak berarti bahwa setiap orang dalam satu komunitas memberikan pemikiran yang
sama.
Hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah (law is governmental social control),
sebagai aturan dan proses sosial yang mencoba mendorong perilaku, baik yang
berguna atau mencegah perilaku yang buruk. Di sisi lain kontrol sosial adalah
jaringan atau aturan dan proses yang menyeluruh yang membawa akibat hukum
terhadap perilaku tertentu, misalnya aturan umum perbuatan melawan hukum. Tidak
ada cara lain untuk memahami sistem hukum selain melihat perilaku hukum yang
dipengaruhi oleh aturan keputusan pemerintah atau undang-undang yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Jika seseorang berperilaku secara
khusus adalah karena diperintahkan hukum atau karena tindakan pemerintah atau
pejabat lainnya atau dalam sistem hukum.
Tetapi kita juga membutuhkan kontrol sosial terhadap
pemerintah, karena tidak dapat kita pungkiri, bahwa tiada kuda tanpa kekang.
Begitu juga tiada penguasa dan aparaturnya yang bebas dari kontrol sosial.
Semua tahu ada orang yang berwenang menyalahgunakan jabatannya, praktek suap
dan KKN sering terjadi dalam tirani birokrat. Maka untuk memperbaiki harus ada
kontrol yang dibangun dalam sistim. Dengan kata lain, hukum mempunyai tugas
jauh mengawasi penguasa itu sendiri, kontrol yang dilakukan terhadap
pengontrol. Pemikiran ini berada di balik pengawasan dan keseimbangan (check and balance) dan di balik
Peradilan Tata Usaha Negara, Inspektur Jenderal, Auditur dan lembaga-lembaga
seperti, KPK, Komisi Judisial. Kesemuanya ini harus mempunyai komitmen yang
tinggi untuk memberantas segala bentuk penyalahgunaan wewenang dari pihak
penguasa.
Hukum akan menjadi berarti apabila perilaku manusia
dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan hukum menuruti
perilakunya, sedangkan di lain pihak efektivitas hukum berkaitan erat dengan
masalah kepatuhan hukum sebagai norma. Hal ini berbeda dengan kebijakan dasar
yang relatif netral dan bergantung pada nilai universal dari tujuan dan alasan
pembentukan undang-undang.
Kepastian hukum dapat kita lihat dari dua sudut, yaitu
kepastian dalam hukum itu sendiri dan kepastian karena hukum. “Kepastian dalam
hukum” dimaksudkan bahwa setiap norma hukum itu harus dapat dirumuskan dengan
kalimat-kalimat di dalamnya tidak mengandung penafsiran yang berbeda-beda.
Akibatnya akan membawa perilaku patuh atau tidak patuh terhadap hukum. Dalam
praktek banyak timbul peristiwa-peristiwa hukum, di mana ketika dihadapkan
dengan substansi norma hukum yang mengaturnya, kadangkala tidak jelas atau
kurang sempurna sehingga timbul penafsiran yang berbeda-beda yang akibatnya
akan membawa kepada ketidakpastian hukum.
Sedangkan “kepastian karena hukum” dimaksudkan, bahwa karena
hukum itu sendirilah adanya kepastian, misalnya hukum menentukan adanya lembaga
daluarsa, dengan lewat waktu seseorang akan mendapatkan hak atau kehilangan
hak. Berarti hukum dapat menjamin adanya kepastian bagi seseorang dengan
lembaga daluarsa akan mendapatkan sesuatu hak tertentu atau akan kehilangan
sesuatu hak tertentu.
Hukum tidak identik dengan undang-undang, jika hukum
diidentikkan dengan perundang-undangan, maka salah satu akibatnya dapat
dirasakan, adalah kalau ada bidang kehidupan yang belum diatur dalam perundang-undangan,
maka dikatakan hukum tertinggal oleh perkembangan masyarakat. Demikian juga
kepastian hukum tidak identik dengan dengan kepastian undang-undang. Apabila
kepastian hukum diidentikkan dengan kepastian undang-undang, maka dalam proses
penegakan hukum dilakukan tanpa memperhatikan
kenyataan hukum (Werkelijkheid) yang
berlaku.
Para penegak hukum yang hanya bertitik tolak dari substansi norma
hukum formil yang ada dalam undang-undang (law
in book’s), akan cenderung mencederai rasa keadilan masyarakat. Seyogyanya
penekanannya di sini, harus juga bertitik tolak pada hukum yang hidup (living law). Lebih jauh para penegak
hukum harus memperhatikan budaya hukum (legal
culture), untuk memahami sikap, kepercayaan, nilai dan harapan serta
pemikiran masyarakat terhadap hukum dalam sistim hukum yang berlaku.
B. Penegakan Hukum
Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat
memberi manfaat atau berdaya guna (utility)
bagi masyarakat, namun di samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya
penegakan hukum untuk mencapai suatu keadilan. Kendatipun demikian tidak dapat
kita pungkiri, bahwa apa yang dianggap berguna (secara sosiologis) belum tentu
adil, begitu juga sebaliknya apa yang dirasakan adil (secara filosopis), belum
tentu berguna bagi masyarakat.
Dalam kondisi yang demikian ini, masyarakat hanya
menginginkan adanya suatu kepastian hukum, yaitu adanya suatu peraturan yang
dapat mengisi kekosongan hukum tanpa menghiraukan apakah hukum itu adil atau
tidak. Kenyataan sosial seperti ini memaksa pemerintah untuk segera membuat
peraturan secara praktis dan pragmatis, mendahulukan bidang-bidang yang paling
mendesak sesuai dengan tuntutan masyarakat tanpa perkiraan strategis, sehingga
melahirkan peraturan-peraturan yang bersifat tambal sulam yang daya lakunya
tidak bertahan lama. Akibatnya kurang menjamin kepastian hukum dan rasa
keadilan dalam masyarakat.
Sebaiknya mekanisme dan prosedur untuk menentukan
prioritas revisi atau pembentukan undang-undang baru, masyarakat harus
mengetahui sedini mungkin dan tidak memancing adanya resistensi dari
masyarakat, maka setidak-tidaknya dilakukan dua macam pendekatan yaitu
pendekatan sistem dan pendekatan kultural politis.
Melalui pendekatan sistem prioritas revisi atau
pembentukan undang-undang baru, harus dilihat secara konstekstual dan
konseptual yang bertalian erat dengan dimensi-dimensi geopolitik, ekopolitik, demopolitik, sosiopolitik dan kratopolitik. Dengan kata lain politik
hukum tidak berdiri sendiri, lepas dari dimensi politik lainnya, apalagi jika
hukum diharapkan mampu berperan sebagai sarana rekayasa sosial. Kepicikan
pandangan yang hanya melihat hukum sebagai alat pengatur dan penertib saja,
tanpa menyadari keserasian hubungannya dengan dimensi-dimensi lain, akan
melahirkan produk dan konsep yang kaku tanpa cakrawala wawasan dan pandangan
sistemik yang lebih luas dalam menerjemahkan perasaan keadilan hukum
masyarakat.
Dalam pelaksanaan penegakan hukum, keadilan harus
diperhatikan, namun hukum itu tidak identik dengan keadilan, hukum itu bersifat
umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Setiap orang yang mencuri
harus dihukum tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan
bersifat subjektif, individualistis dan tidak menyamaratakan. Adil bagi
seseorang belum tentu dirasakan adil bagi orang lain.
Aristoteles dalam buah pikirannya “Ethica Nicomacea” dan “Rhetorica” mengatakan, hukum mempunyai
tugas yang suci, yakni memberikan pada setiap orang apa yang berhak ia terima.
Anggapan ini berdasarkan etika dan berpendapat bahwa hukum bertugas hanya
membuat adanya keadilan saja (Ethische
theorie). Tetapi anggapan semacam ini tidak mudah dipraktekkan, maklum
tidak mungkin orang membuat peraturan hukum sendiri bagi tiap-tiap manusia,
sebab apabila itu dilakukan maka tentu tak akan habis-habisnya. Sebab itu pula
hukum harus membuat peraturan umum, kaedah hukum tidak diadakan untuk
menyelesaikan suatu perkara tertentu. Kaedah hukum tidak menyebut suatu nama
seseorang tertentu, kaedah hukum hanya membuat suatu kualifikasi tertentu. Kualifikasi tertentu itu sesuatu yang abstrak. Pertimbangan
tentang hal-hal yang konkrit diserahkan pada hakim
C. Nilai-Nilai Dasar Hukum
Berdasarkan anggapan tersebut di atas maka hukum
tidak dapat kita tekankan pada suatu nilai tertentu saja, tetapi harus
berisikan berbagai nilai, misalnya kita tidak dapat menilai sahnya suatu hukum
dari sudut peraturannya atau kepastian hukumnya, tetapi juga harus
memperhatikan nilai-nilai yang lain.
Radbruch mengatakan bahwa hukum itu harus
memenuhi berbagai karya disebut sebagai nilai dasar dari hukum. Nilai dasar
hukum tersebut adalah: keadilan,
kegunaan dan kepastian hukum.
Sekalipun ketiga-tiganya itu merupakan nilai dasar dari hukum, namun di antara
mereka terdapat suatu Spannungsverhaltnis
(ketegangan), oleh karena di antara ketiga nilai dasar hukum tersebut
masing-masing mempunyai tuntutan yang berbeda satu sama lainnya, sehingga
ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan
Seandainya kita lebih cenderung berpegang pada
nilai kepastian hukum atau dari sudut peraturannya, maka sebagai nilai ia
segera menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan. Karena yang penting pada
nilai kepastian itu adalah peraturan itu sendiri. Tentang apakah peraturan itu
telah memenuhi rasa keadilan dan berguna bagi masyarakat adalah di luar
pengutamaan nilai kepastian hukum. Begitu juga jika kita lebih cenderung
berpegang kepada nilai kegunaan saja, maka sebagai nilai ia akan menggeser
nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan, karena yang penting bagi nilai
kegunaan adalah kenyataan apakah hukum tersebut bermanfaat atau berguna bagi
masyarakat. Demikian juga halnya jika kita hanya berpegang pada nilai keadilan
saja, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian dan kegunaan, karena
nilai keadilan tersebut tidak terikat kepada kepastian hukum ataupun nilai
kegunaan, disebabkan oleh karena sesuatu yang dirasakan adil belum tentu sesuai
dengan nilai kegunaan dan kepastian hukum. Dengan demikian kita harus dapat
membuat kesebandingan di antara ketiga nilai itu atau dapat mengusahakan adanya
kompromi secara proporsional serasi,
seimbang dan selaras antara ketiga nilai tersebut.
Dalam menyesuaikan peraturan hukum dengan
peristiwa konkrit atau kenyataan yang berlaku dalam masyarakat (Werkelijkheid), bukanlah merupakan hal
yang mudah, karena hal ini melibatkan ketiga nilai dari hukum itu. Oleh karena
itu dalam praktek tidak selalu mudah untuk mengusahakan kesebandingan antara
ketiga nilai tersebut. Keadaan yang demikian ini akan memberikan pengaruh
tersendiri terhadap efektivitas bekerjanya peraturan hukum dalam masyarakat.
Misalnya; seorang pemilik rumah menggugat penyewa rumah ke pengadilan, karena
waktu perjanjian sewa-menyewa telah lewat atau telah berakhir sesuai dengan
waktu yang diperjanjikan. Tetapi penyewa belum dapat mengosongkan rumah
tersebut karena alasan belum mendapatkan rumah sewa yang lain sebagai tempat
penampungannya. Ditinjau dari sudut kepastian hukum, penyewa harus mengosongkan
rumah tersebut karena waktu perjanjian sewa telah lewat sebagaimana yang telah
diperjanjikan.
Apakah hal ini, dirasakan adil kalau si penyewa
pada saat itu belum ada rumah lain untuk menampungnya? Dalam hal ini, hakim
dapat memutuskan: memberi kelonggaran misalnya selama waktu enam bulan kepada
penyewa untuk mengosongkan rumah tersebut. Ini merupakan kompromi atau kesebandingan
antara nilai kepastian hukum dengan nilai keadilan, begitu juga nilai manfaat
atau kegunaan terasa juga bagi si penyewa yang harus mengosongkan rumah
tersebut.
Adalah lazim bahwa kita melihat efektifitas
bekerjanya hukum itu dari sudut peraturan hukumnya, sehingga ukuran-ukuran
untuk menilai tingkah dan hubungan hukum antara para pihak yang mengadakan
perjanjian itu, didasarkan kepada peraturan hukumnya. Tetapi sebagaimana
dicontohkan di atas, jika nilai kepastian hukum itu terlalu dipertahankan, maka
ia akan menggeser nilai keadilan.
Sebagaimana diketahui undang-undang itu, tidak
selamanya sempurna dan tidak mungkin undang-undang itu dapat mengatur segala
kebutuhan hukum dalam masyarakat secara tuntas. Adakalanya undang-undang itu
tidak lengkap dan adakalanya undang-undang itu tidak ada ataupun tidak sempurna. Keadaan ini tentunya
menyulitkan bagi hakim untuk mengadili perkara yang dihadapinya. Namun, dalam
menjalankan fungsinya untuk menegakkan keadilan, maka hakim tentunya tidak
dapat membiarkan perkara tersebut terbengkalai atau tidak diselesaikan sama
sekali.
Konflik antar
lembaga penegak hukum mencapai klimaksnya dan menyeret perhatian bahkan
keterlibatan banyak pihak sampai ke tingkat kresesidenan. Hal ini justeru
terjadi saat kita bertekad untuk menuntaskan kasus-kasus korupsi yang dianggap
sebagai kejahatan yang harus diberantas dengan serius. Tekad pemberantasan
korupsi sendiri telah menjadi salah satu agenda reformasi yang dirumuskan dalam
pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Lembaga kepolisian dan KPK
terkesan adu kuat dalam hal ini. Sebagaimana kita tangkap dalam perumpamaan
cicak melawan buaya sepertiu yang disebutkan oleh pejabat tinggi di Mabes Polri
sendiri.
Dalam hal
tertentu konflik yang mengemuka sampai ke ruang publik dapat menjadi proses
pembelajaran dan pencarian solusi terhadap konflik kepentingan tadi dengan
pelibatan publik yang lebih luas, namun di sisi lain juga memiliki potensi
pembelajaran yang buruk, apabila penyelesaian konflik malah membuat publik
semakin tidak memahami persoalan akibat terjadinya proses dan hasil
penyelesaian yang tidak memenuhi pemahaman dan harapan publik atas persoalan
tadi. Dalam kasus konflik antara Polri dan KPK nampaknya memenuhi kondisi yang
digambarkan dalam kondisi terakhir, yakni tidak terpenuhinya harapan publik
atas persoalan yang terjadi, bahkan berpotensi mencederai rasa keadilan di
masyarakat.
Rasa keadilan masyarakat mulai terusik saat pihak
kepolisian melakukan tindakan hukum terhadap pimpinan KPK, dan puncaknya adalah
pengenaan status terdakwa kepada dua petinggi KPK yang diikuti dengan
penonaktifan keduanya atas nama amanat undang-undang. Rasa keadilan tadi
tersentuh karena semua itu terjadi menyusul dua lembaga penegak hukum tadi, KPK
dan Polri saling mengancam akan memeriksa masing-masing petingginya dengan
argumentasi hukum masing-masing. Banyak pihak menyayangkan presiden tidak
melakukan intervensi untuk mencegah agar tidak terjadi kesalahan langkah dari
polri yang akan berakibat fatal dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Namun
presiden lebih memilih menyelesaikanya melalui penerbitan Peraturan Pengganti Undang-undang
(Perpu). Yang dinilai banyak pihak justeru merupakan tindakan yang melemahkan
KPK dan gerakan pemberantasa korupsi.
Kini kita mempertanyakan sejauh mana upaya
penegakan hukum di negeri ini akan bergerak terkait begitu kentalnya aroma
penggunaan kekuasaan dalam mengintervensi proses hukum, lebih jauh lagi
bagaimana masa depan penegakan hukum di negeri ini. Karena kita pahami bahwa
penegakan hukum yang didasari kepastian hukum dan terbentuknya rasa keadilan di
mata publik menjadi salah satu syarat pembangunan bangsa secara keseluruhan.
Apalagi jika dikaitkan dengan perkembangan ekonomi dan politik nasional dan
internasional yang terus berkembang mensyaratka hal tadi sebagai tiket bagi
hadirnya modal dan sumberdaya lainya untuk membangun bangsa, yang tidak bisa
lagi mengucilkan diri dari pergaulan dunia.
Dari pengalaman kita mendapat pelajaran bahwa
pembentukan kodifikasi hukum berupa peraturan perundang-undanggan tidak serta
merta dapat dijadikan sebagai modalitas untuk terbentuknya kepastian hukum,
penegakan hukum yang menghasilkan terpenuhinya rasa keadilan di masyarakat. Di
satu sisi kodifikasi hukum tidak akan dapat menyediakan ranah yang tanpa cacat
untuk kepentingan hukum publik, maka kehadiran lembaga dan prose hukum yang
baik menjadi prasarat mutlak, untuk mengisi kekosongan dalam kodifikasi hukum.
Praktek hukum yang baik ini pada giliranya akan menjadi budaya hukum yang hidup
dalam sebuah komunitas, dalam hal ini tentu saja komunitas kita sebagai bangsa.
Dengan semua yang terjadi dan berkembang saat ini
upaya untuk membangun budaya hukum menghadapi ancaman serius, karena lembaga
KPK yang dalam pembentukanya dimaksudkan sebagai lembaga diluar kelaziman dalam
upaya pemberantasa korupsi akibat pemahaman bahwa korupsi di negeri ini telah
mencapai tingkat yang memang diluar kelaziman yang tidak mungkin untuk
diselesaikan dengan perrangkat hukum dan kelembagaan yang ada saat ini yakni
kepolisian dan kejaksaan yang kita miliki, sehingga dibentuklah peraturan
perundang-undangan dan kelembagaanya sesuai dengan kondisi ketidak laziman
tadi. Dalam kondisi demikian KPK dibentuk.
Saat ini kita mendapati bahwa sebagai lembaga
pemberantas korupsi, KPK menghadapi bahaya yang bisa mengancam keberadaanya dan
memang sudah dapat kita prediksi, karena di samping kesan upaya pelemahan yang
terjadi seiring penetapan status tersangka sekaligus penon aktifan kepada tiga
pimpinan KPK, pada saat yang hampir bersamaan juga pemerintah dan DPR
mengesahkan Undang-undang Peradilan Korupsi yang mengebiri kewenangan KPK dalam
hal penuntutan yang dalam undang-undang tadi dikembalikan kewenanganya kepada
pihak kejaksaan.
Jika kasus KPK dianggap sebagai sesuatu yang sudah terjadi dan tak
mungkin untuk kita mengembalikan jarum jam, maka kita melihat bahwa upaya untuk
mengembalikan kepercayaan publik yang menuntut kepastian hukum dan harapan atas
rasa keadilan tidak mudah untuk terpenuhi. Baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang kita melihat suramnya iklim penegakan hukum dan pemberantasan
korupsi di negeri ini, karena kepercayaan publik yang telah tercederai di satu
sisi, serta terjadinya demoralisasi bagi kelembagaan dan proses penegakan hukum
di sisi lain. Demikian juga gerakan pemberantasan korupsi akan mencapai nadir
terendah akibat benturan kepentingan yang tidak terselesaikan dengan baik dan
berbudaya antara lembaga penegak hukum tadi.
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
Para penegak hukum yang hanya bertitik tolak dari substansi norma
hukum formil yang ada dalam undang-undang (law
in book’s), akan cenderung mencederai rasa keadilan masyarakat. Seyogyanya
penekanannya di sini, harus juga bertitik tolak pada hukum yang hidup (living law). Lebih jauh para penegak
hukum harus memperhatikan budaya hukum (legal
culture), untuk memahami sikap, kepercayaan, nilai dan harapan serta
pemikiran masyarakat terhadap hukum dalam sistim hukum yang berlaku.
Dalam hal
tertentu konflik yang mengemuka sampai ke ruang publik dapat menjadi proses
pembelajaran dan pencarian solusi terhadap konflik kepentingan tadi dengan
pelibatan publik yang lebih luas, namun di sisi lain juga memiliki potensi
pembelajaran yang buruk, apabila penyelesaian konflik malah membuat publik
semakin tidak memahami persoalan akibat terjadinya proses dan hasil
penyelesaian yang tidak memenuhi pemahaman dan harapan publik atas persoalan
tadi
2.
SARAN
Masyarakat juga merupakan bagian dari hukum, jadi
penegakan hukum bukan hanya tugas dan wewenang pihak penegak hukum. Partisipasi
serta keaktifan masyarakat sangatlah dibutuhkan untuk menciptakan keharmonisan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Kepastian hukum dari penegak hukum sangatlah
diperlukan oleh masyarakat untuk mendapatkan rasa keadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber
internet :