BAB
II
PEMBAHASAN
Suatu
putusan hakim tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bahkan tidak
mustahil bersifat memihak. Maka oleh karena itu demi kebenaran dan keadilan
setiap keputusan hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa ulang agar kekeliruan
atau kekhilafan yang terjadi pada putusan dapat diperbaiki. Bagi setiap putusan
hakim pada umumnya tersedia upaya hukum, yaitu upaya atau alat untuk mencegah
atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan (Sudikno Mertokusumo,
1982:232).
Dalam hukum acara perdata terhadap upaya hukum dapat di bagi
menjadi upaya hukum biasa berupa perlawanan (verzet), banding (revisi)
dan kasasi (cassatie) dan upaya hukum luar biasa yang dapat berupa peninjauan
kembali (PK) dan derden verzet (verzet door darden).
A. BANDING
1. Landasan
Hukum Banding
Sebenarnya
banding dalam perkara perdata dan pidana berbeda peraturannya. Acara banding
dalam perkara pidana pada awalnya diatur dalam pasal 350-356 HIR yang kemudian
dicabut oleh Stb. 1932 No. 460 jo 580, sehingga hanya tinggal ketentuan yang
diatur dalam Reglement op de strafvordering voor de raden van justitie op
java en het hooggerechtshof van indonesia (pasal 282 dst.) serta Rbg pasal
660. Sekarang hal banding dalam perkara pidana diatur dalam KUHAP pasal 67, 87,
233-243 KUHAP.
Sedangkan
banding dalam perkara perdata diatur dalam pasal-pasal 188-194 HIR. Tetapi
dengan adanya pasal 3 jo 5 UU darurat no. 1 tahun 1951 pasal-pasal itu sudah
tidak berlaku lagi dan yang sekarang berlaku ialah undang-undang RI tahun 1947
no. 20 untuk Jawa dan Madura. Sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura ialah
Rbg pasal 199-205. Jadi dasar hukumnya adalah UU no. 4/2004 tentang perubahan
atas undang-undang pokok kekuasaan dan UU no.20/1947 tentang peradilan ulangan.
- Alasan
Permohonan Banding
Adapun alasan-alasan seseorang dapat
mengajukan permohonan banding diantaranya adalah:
- Apabila salah satu pihak dalam
suatu perkara tidak menerima putusan pengadilan tingkat pertama karena
merasa hak-haknya terserang oleh adanya putusan itu.
- Menganggap putusan itu kurang
benar atau kurang adil.
Asas
peradilan ini bersandarkan pada keyakinan bahwa putusan pada tingkat pertama
belum tentu tepat atau benar sehingga perlu pemeriksaan ulang oleh pengadilan
yang lebih tinggi. Dalam hal ini yang berwenang adalah pengadilan tinggi untuk
menelitti apakah pemeriksaan perkara tersebut telah dilakukan menurut cara yang
ditentukan UU dengan cukup teliti, dan juga pengadilan tinggi berwenang untuk
memeriksa putusan dan mengambil sikap atas putusan-putusan tersebut seperti:
- Dalam hal putusan dianggap
telah benar, putusan pengadilan tingkat pertama akan dikuatkan.
- Dalam hal putusan dianggap
salah, putusan akan dibatalkan dan pengdailan tinggi akan memberi putusan
lain.
- Dalam hal putusan yang kurang
tepat, maka pengadilan tinggi akan memperbaiki putusan sebelumnya.
- Prosedur
Pengajuan Banding
Putusan
yang bisa dimintakan banding hanya putusan pengadilan negeri mengenai perkara
yang harga gugatnya hanya lebih dari Rp.100,- saja. Hal ini sesuai pasal 6 UU
1947 no. 20 bahwasannya “dari putusan-putusan pengadilan negeri di jawa dan
madura tentang perkara perdata, yang diternyata bahwa besarnya harga gugat
ialah seratus rupiah atau kurang, oleh salah satu dari pihak-pihak (partizen)
yang berkepentingan dapat diminta, supaya pemeriksaan pertama diulangi oleh
pengadilan tinggi yang berkuasa dalam daerah hukum masing-masing” (komentar
HIR, 2005:170).
Jadi
dapat dikatakan hampir semua putusan (bukan declaratoir) Pengadilan
Negeri dapat diajukan permohonan banding. Maksud pihak yang berkepentingan adalah
pihak yang oleh putusan pengadilan tingkat pertama dikalahkan dan juga jika ada
gugat asal dan gugat balik yang di dalamnya ada pihak yang dikalahkan maka
pihak tersebut dapat mengajukan permohonan banding (Retnowulan Sutantio,
Iskandar Oeripkartawinata, 2009:151).
Sedang
dalam perkara pidana, permintaan banding dapat diajukan ke pengadilan tinggi
oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu atau penunttut umum (pasal
67 KUHAP). Permintaan banding dalam perkara pidana ini dapat diterima oleh
panitera pengadilan negeri dalam waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan
atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir sebagaiman
dimaksud dalam pasal 196 ayat 2 KUHAP.
Permohonan
banding dapat diterima jika diajukan dalam tenggang waktu 14 hari terhitung
mulai berkutnya hari pengumuman putusan kepada yang berkepentingan. Hal ini
sesuai dengan pasal 7 ayat 1 UU no. 20 tahun 1947 “permintaan untuk
pemeriksaan ulangan harus disampaikan dengan surat atau dengan lisan oleh
peminta atau wakilnya, yang sengaja dikuasakan untuk mengajukan permintaan itu,
kepada panitera pengadilan negeri, yang menjatuhkan putusan dalam empat belas
hari, terhitung mulai hari berikutnya hari pengumuman putusan kepada yang
berkepentingan.”
Untuk
mengajukan permohonan banding pihak yang bersangkutan terlebih dahulu harus
membayar biaya permohonan banding kepada pengadilan negeri. Besarnya biaya
tersebut ditaksir oleh panitera Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Jika
pemohon banding adalah orang yang tidak mampu maka harus dibuktikan dengan
surat dari kepala desa. Hal ini sesuai dengan pasal 7 (3) UU no. 20 tahun 1947
bahwasannya “jika ada permintaan akan pemeriksaan ulangan tidak dengan biaya
maka tempo itu dihitung mulai hari berikutnya hari pemberitahuan putusan pengadilan
tinggi atas permintaan tersebut kepada ketua pengadilan negeri.”
Biaya perkara banding
untuk pengadilan tinggi harus disampaikan melalui bank pemerintah atau kantor
pos, dan tanda bukti pengiriman uang harus dikirim bersamaan dengan pengiriman
berkas yang bersangkutan. Dalam menentukan biaya banding harus diperhitungkan:
- Biaya
pencatatan pernyataan banding,
- Besarnya
biaya banding yang ditetapkan oleh ketua pengadilan tinggi,
- Biaya
pengiriman uang melalui bank/kantor pos,
- ongkos
kirim berkas,
- biaya
pemberitahuan berupa:
(1) Biaya
pemberitahuan akta banding.
(2) Biaya
pemberitahuan memori banding.
(3) Biaya
pemberitahuan kontra memori banding.
(4) Biaya
pemberitahuan memeriksa berkas bagi pembanding dan terbanding.
(5) Biaya
pemberitahuan bunyi putusan bagi pembanding dan terbanding.
Pasal 10 uu no. 20
tahun 1947 menyatakan “(1) permintaan pemeriksaan ulangan yang dapat
diterima, dicatat oleh panitera pengadilan negeri di dalam daftar. (2) panitera
memberitahukan hal itu kepada pihak lawan yang minta pemeriksaan ulangan.”
Jadi sudah jelas dalam hal ini panitera harus memberitahu pihak terbanding
supaya siap-siap juga menyiapkan kontra memori bandingnya. Begitupun KUHAP
mengatur tentang kewajiban panitera perkara pidan untuk memberitahukan kepada
pihak-pihak terkait tentang adanya permintaan banding yang diatur dalam pasal
233.
Setelah satu pihak
menyatakan naik banding dan dicatat oleh panitera, maka pihak lawan diberitahu
panitera tentang permintaan banding itu selambat-lambatnya 14 hari setelah
permintaan banding diterima dan kedua belah pihak diberi kesempatan untuk
melihat surat-surat dan berkasnya di pengadilan negeri selama 14 hari sesuai
dengan pasal 11 ayat 1 uu no. 20 tahun 1947, 202 Rbg (Sudikno Mertokusumo,
1998:235).
Surat-surat termaksud
adalah memori banding yang harus dipelajari oleh pihak terbanding sehingga bisa
menjawabnya dengan kontra memori banding. Memori banding harus memuat
alasan-alasan pembanding menganggap bahwa putusan pengadilan tersebut adalah
salah. Akan tetapi hal ini tidak merupakan syarat mutlak asalkan syarat-syarat
lain yang ditentukan UU terpenuhi. Kedua belah pihak boleh memasukkan surat
keterangan dan bukti-bukti baru.
Setelah pemeriksaan di
panitera Pengadilan Negeri selesai, maka surat pemeriksaan harus dikirim ke
Pengadilan Tinggi selambat-lambatnya 7 hari setelah pemeriksaan selesai (pasal
13 UU no.20 tahun 1947). Dalam perkara pidana selambat-lambatnya dalam waktu 14
hari setelah permintaan banding diajukan, panitera mengirimkan berkas-berkas ke
pengadilan tinggi. Selama 7 hari sebelum pengiriman berkas perkara ke
pengadilan tinggi, pemohon banding wajib diberi kesempatan untuk mempelajari
berkas perkara tersebut di pengadilan negeri.
Menurut pasal 15 ayat 1
uu no 20 tahun 1947 dan pasal 238 KUHAP, pengadilan tinggi dalam pemeeriksaan
ulangan, memeriksa dan memutuskan dengan tiga hakim, jika dipandang perlu
dengan mendengar sendiri kedua belah pihak atau saksi. Ayat ini dirubah oleh
pasal 2 undang-undang darurat no. 11 tahun 1955 “jika dipandang perlu,
pengadilan tinggi atau seorang hakim pengadilan tinggi itu dapat mendengar
sendiri para pihak yang berperkara.” Bukanlah maksudnnya ssupaya semua
perkara bandingan diperiksa oleh seorang hakim, melainkan supaya semua
pengadilan tinggi tidak diwajibkan lagi untuk memeriksa semua perkara dengan
tiga orang hakim, juga perkara-perkara yang tidak sulit (R. Soepomo, 1993:114).
Setelah semua hal
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut di atas dipertimbangkan dan
dilaksanakan, pengadilan tinggi memutuskan, menguatkan atau mengubah atau dalam
hal membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi
mengadakan putusan sendiri (Sudarsono, 1994:153). Dan putusannya harus segera
diberitahukan kepada pihak pembanding dan terbanding.
Jika dalam pemeriksaan
tingkat banding terdakwa yang dipidana itu ada dalam tahanan, maka pengadilan
tinggi dalam putusannya memerintahkan supaya terdakwa perlu tetap ditahan atau
dibebaskan (pasal 242 KUHAP).
Dalam tingkat banding
hakim harus membiarkan putusan dalam tingkat peradilan pertama sepanjang tidak
dibantah dalam tingkat banding (tantum devolatum quantum appelatum)
sesuai dengan putusan Mahkamah Agung tanggal 19 Juni 1971 (Sudikno Mertokusumo,
1998:237). Dan mengenai pencabutan permohonan banding dapat dilakukan setiap
saat oleh pihak pembanding dengan persetujuan pihak lawan selama perkara
tersebut belum diputus oleh pengadilan tinggi.
- Putusan
Peradilan Tingkat Banding
Putusan
yang dapat diajukan permohonan banding adalah putusan Pengadilan Negeri/Agama
bukan penetapan, yaitu putusan declaratoir yang diberiakan hakim
pengadilan negeri atas suatu surat permohonan, seperti penetapan ahli waris.
Terhadap putusan seperti ini tidak dapat diajukan banding akan tetapi langsung
mengajukan kasasi (Retnowulan Sutantio, Iskandar Oeripkartawinata, 2009:149).
Jika
putusannya berbentuk verstek maka harus diajukan verzet dulu di
tingkat peradilan pertama. Namun seperti dijelaskan dalam ayat 2 pasal 8, jika
untuk kedua kalinya tergugat kalah dengan putusan verstek, maka tergugat dapat
mengajukan banding namun harus menunggu sampai putusan verstek diputus oleh
pengadilan negeri.
Ketentuan
pasal 9 mengemukakan “(1) dari putusan pengadilan negeri yang bukan putusan
penghabisan dapat diminta pemeriksaan ulangan hanya bersama-sama dengan putusan
penghabisan. (2) putusan dalam mana pengadilan negeri menganggap dirinya
tidak berhak untuk memeriksa perkarannya, dianggap sebagai putusan penghabisan.”
Dari pasal satu kita tahu bahwa apabila dalam suatu perkara telah dijatuhkan
suatu putusan provisionil, insidentil ataupun putusan sela lainnya, dan pihak
yang dikalahkan mengajukan permohonan banding, permohonannya dicatat oleh
pengadilan negeri akan tetapi berkasnya baru akan dikirim ke pengadilan tinggi
setelah putusan final ada.
Pengadilan
tinggi juga dapat melakukan pemeriksaan tambahan dalam memutus perkara jika
menganggap bahwa pemeriksaan semula belum cukup bukti. Karena dalam taraf
banding asasnya “ bahwa perkara mentah kembali” dan kedudukan pengadilan tinggi
sebagai judex factie, yaitu hakim yang memeriksa dan mengadili perkara
baik mengenai fakta maupun mengenai hukumnya, dan wewenang yang dipunyai
pengadilan tinggi dalam pemeriksaan perkara yang sama dengan wewenang hakim
pengadilan negeri, sebelum pemeriksaan tambahan, pengadilan tinggi harus
berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa (Retnowulan
Sutantio, Iskandar Oeripkartawinata, 2009:160)
Wewenang
pengadilan tinggi juga untuk membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama
meskipun putusan pengadilan negeri tersebut berdasarkan sumpah penambah atau supletoir.
Apalagi jika sumpah tersebut dimintakan kepada penggugat yang tidak mempunyai
bukti yang harus ditambah. Lain halnya dengan sumpah pemutus atau decisoir,
sumpah seperti ini dalam tingkat banding maupun kasasi tidak dapat mengubah
putusan. Karena pada hakikatnya sumpah decisoir ini adalah melepaskan
hak untuk menang.
Berkaitan
dengan putusan sela, pengadilan tinggi pun dapat melakukannya misalnya saja
dalam hal sita jaminan. Pengadilan tinggi berwenang untuk memerintahkan
pengadilan negeri terkait melakukan sita tersebut (R. Subekti, 1977:152).
B. KASASI
- Pengertian
dan Landasan Hukum Kasasi
Upaya hukum kasasi (cassatie/appeal
in cassation) merupakan lembaga hukum yang dilahirkan di prancis dengan
istilah cassation dan berasal dari kata kerja casser yang berarti
membatalkan atau memecahkan adalah salah satu tindakan Mahkamah Agung Repulik
Indonesia (MA RI) sebagai pengawas tertinggi atas putusan-putusan
pengadilan-pengadilan lain, tetapi tidak berarti merupakan pemeriksaan
tingkat ke-3. Hal ini disebabkan dalam tingkat kasasi tidak dilakukan suatu
pemeriksaan kembali perkara tersebut, tetapi hanya diperiksa masalah-masalah
hukumnya/penerapan hukumnya. Sehingga yang dapat mengajukan permohonan
kasasi dalam perkara perdata adalah pihak-pihak berperkara atau wakilnya yang
khusus dikuasakan untuk itu (Pasal 44 ayat (1) huruf a UU no 3 tahun
2009).
Pada
asasnya, landasan hukum kewenangan kasasi diatur dalam ketentuan pasal 24
A ayat (1) perubahan ke-3 UUD 1945, pasal 20 ayat (2) UU no. 48 tahun 2009, penjelasan
umum angka 2, pasal 28 dan 30 UU no. 48 tahun 2009.
2.
Prosedur Permohonan Kasasi
Menurut Mahkamah Agung RI pada
hakikatnya prosedural administrasi permohonan kasasi adalah bahwa permohonan
kasasi dapat diajukan dalam tenggang waktu paling lambat 8 hari setelah tanggal
putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan. Senada dengan pasal 245 KUHAP
yang menyatakan tenggang waktu selama 14 hari untuk mengajukan permohonan.
Prosedural berikutnya adalah apabila biaya kasasi telah dibayar
lunas semuanya, pengadilan wajib membuat akta pernyataan kasasi tersebut dalam
register induk perkara dan register kasasi, kemudian akta ini diberitahukan
kepada lawannya dalam waktu 7 hari. Perlu juga disampaikan dalam kontek ini
bahwa dalam mengajukan kasasi, pemohon kasasi harus mengajukan memori kasasi
dan berdasarkan ketentuan pasal 12 ayat (1) UU no. 37 tahun 2004 menentukan
bahwa, “Pemohon kasasi wajib menyampaikan kepada Panitra Pengadilan memori
kasasi pada tanggal permohonan kasasi didaftarkan.”
Tanggal penerimaan memori
kasasi tersebut, harus dicatat dalam suatu surat keterangan panitera yang
ditandatangani oleh panitera. Yang dimaksud sebagai tanggal permohonan kasasi
adalah tanggal pada waktu biaya perkara diterima oleh panitera yang
bersangkutan. Sedangkan apabila biaya perkara yang diterima melampaui tenggang
waktu, maka permohonan kasasi dianggap tidak ada. Dalam pidana juga pemohon
harus menyerahkan memori kasasi dan alasan mengajukan kasasi yang sesuai dengan
pasal 248 dan 253 KUHAP.
Kemudian berdasarkan Ketentuan
pasal 12 ayat (3) UU No. 37 tahun 2004: “Termohon kasasi dapat
mengajukan kontra memori kasasi kepada Panitra Pengadilan paling lambat 7
(tujuh) hari setelah tanggal termohon kasasi menerima memori kasasi dan panitra
Pengadilan wajib menyampaikan kontra memori kasasi kepada pemohon kasasi paling
lambat 2 (dua) hari setelah kontra memori kasasi diterima.”
Kemudian, berdasarkan ketentuan
Pasal 12 ayat (4) UU No. 37 tahun 2004: “Panitra wajib menyampaikan
permohonan kasasi, memori kasasi, dan kontra memori kasasi beserta berkas
perkara yang bersangkutan kepada Mahkamah Agung paling lambat 14 (empat belas)
hari setelah tanggal permohonan kasasi di daftarkan.”
Dalam praktik, berkas perkara
dikirim kepada MA RI berupa bundel A dan bundel B. Dalam
waktu 30 hari sejak permohonan kasasi diajukan, barkas kasasi berupa bundel A
dan B harus sudah dikirim ke Mahkamah Agung. Pada
dasarnya, bundel A merupakan surat-surat perkara diawali dengan surat gugatan
dan semua kegiatan/proses penyidangan/pemeriksaan perkara tersebut dan selalu
di simpan di Pengadilan Negeri/Niaga serta terdiri atas:
-
Surat permohonan;
-
Penetapan Penunjukan Majelis Hakim;
-
Penetapan hari sidang;
-
Relaas-relaas panggilan;
-
Berita acara sidang (jawaban/tanggpan dan bukti-bukti
surat dimasukan dalam berita acara);
-
Surat kuasa khusus dari kedua belah pihak yang
berperkara;
-
Tanda bukti pengiriman biaya perkara kasasi;
-
Penetapan-penetapan lainnya yang berkaitan dengan
perkara (bila ada);
-
Berita Acara Sita Jaminan/Penyegelan (bila ada);
-
Lampiran-lampiran surat yang dimajukan oleh kedua
belah pihak (bila ada)
-
Surat-surat bukti Pemohon;
-
Surat-surat bukti Termohon;
-
Surat-surat lainnya;
-
Naskah Asli Putusan.
Sedangkan bundel B merupakan
himpunan surat-surat perkara dan kasasi serta semua kegiatan berkenaan dengan
adanya permohonan kasasi dan akhirnya menjadi arsip perkara MA RI, yang terdiri
atas:
-
Relaas-relaas pemberitahuan isi putusan Pengadilan
Niaga kepada kedua belah pihak yang berperkara;
-
Akta permohonan kasasi;
-
Surat kuasa khusus dari pemohon kasasi;
-
Memori kasasi dan/atau surat keterangan apabila
pemohon kasasi tidak mengajukan memori kasasi;
-
Tanda terima memori kasasi;
-
Relaas pemberitahuan kasasi kepada Termohon Kasasi;
-
Kontra memori kasasi;
-
Salinan putusan Pengadilan Niaga dan
penetapan-penetapan Pengadilan Niaga; dan
-
Surat-surat lain yang sekiranya ada.
Dalam menaksir biaya kasasi
diperhitungkan dengan besarnya biaya kasasi yang ditentukan oleh Ketua Muda.
Kasasi yang diajukan ke Mahkamah Agung ditambah dengan biaya pemberitahuan,
berupa :
·
Biaya pemberitahuan pernyataan kasasi.
·
Biaya pemberitahuan memori kasasi.
·
Biaya pemberitahuan kontra memori kasasi.
·
Biaya pemberitahuan bunyi kasasi.
Foto copy relaas pemberitahuan putusan Mahkamah Agung,
dikirim ke Mahkamah Agung. Permohonan kasasi yang melampaui tenggang waktu atau
penerimaan memori kasasi yang melempaui tenggang waktu, harus dinyatakan tidak
dapat diterima. Mengajukan memori kasasi yang disertai dengan
alasan-alasan merupakan syarat mutlak. Didalam risalah kasasi harus dimuat keberatan-keberatan
atau alasan-alasan kasasi yang berhubungan dengan pokok persoalan perkara, jika
tidak mengajukan risalah kasasi sudah tentu akan menyebabkan tidak diterimanya
permohonan kasasi.
- Tugas Pengadilan Tingkat Kasasi dan
Alasan Pengajuan Kasasi
Tugas pengadilan kasasi adalah
menguji dan meneliti putusan pengadilan-pengadilan bawahan tentang sudah tepat
atau tidaknya penerapan hukum yang dilakukan terhadap kasus yang
bersangkutan yang duduk perkaranya telah ditetapkan oleh pengadilan-pengadilan
bawahan tersebut. Oleh karena itu, maka dasar dari pembatalan suatu putusan
yang oleh pengadilan kasasi dianggap salah adalah “pelanggaran hukum” yang
telah dilakukan oleh pengadilan yang bersangkutan.
Alasan yang dipergunakan dalam
permohonan kasasi yang ditentukan dalam pasal 30 UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU
No. 5 Tahun 2004 adalah :
1)
Tidak berwenang atau
melampaui batas wewenang
Pada hakikatnya, pengertian tidak berwenang dalam hal ini tendens
kepada kompetensi relatif (relatieve competentie) dan kompetensi
absolut (absolute competentie). Konkretnya, yudex facti incasu
Pengadilan Niaga telah mengadili perkara kepailitan dan PKPU tersebut
seolah-olah merupakan kewenangannya, padahal sebenarnya tentang yudex factie
tidak berwenang/bukan merupakan kewenangannya. Sedangkan alasan kasasi
disebabkan yudex facti melampaui batas wewenang adalah bahwa yudexfacti
telah mengadili tidak sesuai atau melebihi kewenangan yang ditentukan
dalam UU.
Kemudian, melampaui batas
wewenang ini dapat juga di artikan bahwa yudexfacti dalam
putusannya telah mengabulkan lebih dari pada apa yang dituntut Penggugat dalam
surat gugatannya.
2)
Salah menerapkan atau
melanggar hukum yang berlaku
Hakikat salah menerapkan hukum
dapat diartikan secara sederhana adalah salah menerapkan ketentuan hukum
formal/hukum acara maupun hukum materiilnya. Kesalahan tersebut dapat dilihat
dari penerapan hukum yang berlaku.
Sedangkan melanggar hukum tendens kepada penerapan hukum itu sendiri
tidak dapat, salah dan tidak sesuai serta bertentangan dari ketentuan
seharusnya yang digariskan oleh UU.
3)
Lalai memenuhi syarat-syarat
yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu
dengan batalnya putusan yang bersangkutan
Dalam doktrin hukum acara perdata, kelalaian memenuhi syarat-syarat yang
diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian dengan
batalnya putusan. Aspek ini lazim disebut dengan istilah melalaikan persyaratan
formal (formalities), sehingga diancam pula kebatalan formal (formele
nietigheid atau formele nulliteit). Terhadap hal ini, Soedirjo
lebih jauh menegaskan bahwa persyaratan formal (formalitas) yang tidak dipenuhi
oleh hakim dalam melakukan tugas peradilan merupakan alasan bagi Mahkamah Agung
untuk menyatakan batalnya perbuatan hakim itu. Hanya perbuatan prosesesuil (processuele
handeling) dari hakim tunduk pada pemeriksaan kasasi, perbuatan para pihak
tidak. Apabila batalnya putusan atau perbuatan hakim sebagai akibat kelalaian
ditentukan oleh undang-undang, maka terdapat kebatalan formal (formele nietigheid
atau formele nulliteit).
Kemudian,
tentang kebatalan formal ini misalnya dapat disebutkan apabila sidang
pemeriksaan pengadilan tidak dilakukan terbuka untuk umum mengakibatkan
batalnya putusan menurut hukum (Pasal 19 ayat 1, 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun
2009), begitu pula halnya semua putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila diucapakan dalam sidang terbuka untuk umum dan apabila tidak dilakukan
demikian akan batal (Pasal 13 ayat 1 dan 3 Undang-undang Nomor 48 Tahun
2009 dan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 334 K/Sip?1972 tanggal
4 Oktober 1972.
Dari alasan-alasan tersebut diatas,
dapat kita ketahui bahwa didalam tingkat kasasi tidak diperiksa tentang
duduknya perkara atau faktanya melainkan tentang hukumnya, sehingga tentang
terbukti atau tidaknya peristiwa tidak akan diperiksa. Penilaian hasil
pembuktian tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi.
Mahkamah Agung terikat pada peristiwa yang telah diputuskan dalam tingkat
terakhir, jadi pada tingkat kasasi peristiwanya tidak diperiksa kembali. Oleh
karena pada tingkat kasasi tidak diperiksa ulang duduk perkaranya, maka
pemeriksaan tingkat kasasi pada umumnya tidak dianggap sebagai pemeriksaan
tingkat ke-3.
Dasar hukum bagi pengadilan kasasi yang
dilakukan Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 10 ayat (3) UU Pokok Kekuasaan
Kehakiman No. 14 tahun 1970, yang berbunyi: “Terhadap putusan-putusan yang diberikan tingkat terakhir oleh
pengadilan-pengadilan lain daripada MA, kasasi dapat dimintakan kepada Mahkamah
Agung.” UU Mahkamah Agung No. 14 tahun 1985, mengatur Hukum Acara bagi
Mahkamah Agung yang berhubungan dengan tugasnya untuk memberi putusan dalam
tingkat kasasi. Bab III UU no. 14 Tahun 1985, mengatur tentang kekuasaan
Mahkamah Agung. Pada Pasal 28, menyatakan sebagai berikut :
(1)
Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutus :
a. Permohonan kasasi;
b. Sengketa tentang kewenangan mengadili;
c. Permohonan peninjauan kembali
(2)
Untuk kelancaran pelaksanaan tugas sebagaimana yang
dimaksudkan ayat (1) Ketua Mahkamah Agung menetapkan pembidangan tugas dalam
Mahkamah Agung.
Pada pasal
28 dinyatakan : “Mahkamah
Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tingkat Banding
atau Tingkat Terakhir dari semua Lingkungan Peradilan”.
4.
Putusan peradilan tingkat kasasi
Jika Mahkamah Agung menerima
permohonan kasasi dan membatalkan putusan yang dimohonkan kasasi tersebut, maka
akan terjadi dua kemungkinan, yakni :
1)
Kalau pembatalan itu didasarkan pada tidak
berwenangnya pengadilan yang telah mengambil putusan yang dimohonkan kasasi,
maka berkas perkara akan dikirimkan kepada pengadilan yang oleh Mahkamah Agung
yang dianggap berwenang, untuk diperiksa dan diputusi.
2)
Kalau pembatalan didasarkan pada kesalahan dalam
penerapan hukum, maka Mahkamah Agung akan memutusi sendiri perkara itu. Dengan
sendirinya putusan yang akan diambil oleh Mahkamah Agung itu adalah final.
Disini dikatakan bahwa hakim kasasi dalam memutusi perkara tersebut “duduk di
atas kursi judex facti” karena ia memutusi apa yang biasanya menjadi wewenang
“judex facti” (Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi).
Menurut ketentuan hukum yang berlaku
dan yurisprudensi konstan Mahkamah Agung Republik Indonesia, peradilan kasasi
dalam putusannya terbatas memeriksa perkara terhadap aspek yuridis semata-mata
yaitu apakah benar yudex facti telah menerapkan hukum atau menerapkan
hukum tidak sebagaimana mestinya. Konkritnya, Mahkamah Agung Republik Indonesia
memeriksa terhadap penerapan hukumnya dan tidak terhadap peristiwa dan
pembuktian sehingga kedudukannya sebagai yudex yuris. Dengan demikian,
aspek peristiwa dan penilaian mengenai hasil pembuktian yang bersifat
penghargaan terhadap suatu kenyataan tidak dapat dipertimbangkan/tidak tunduk
dalam pemeriksaan kasasi sebagaimana ditegaskan putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 2650 K/Sip/1982 tanggal 20 September 1983.
Putusan peradilan tingkat kasasi ini
pada asasnya dapat di klasifikasikan ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu :
1. Permohonan kasasi tidak dapat diterima
Hakikat permohonan kasasi haruslah didasarkan kepada ontvankelijkeheid
(dapat diterimanya) permohonan kasasi. Apabila suatu permohonan kasasi tidak
memenuhi syarat formal (formalitas) untuk mengajukan kasasi seperti
dilampauinya tenggang waktu melakukan kasasi, surat kuasa khusus kasasi tidak
memenuhi syarat, tidak ada/terlambat mengajukan memori kasasi, dan lain
sebagainya, sehingga hal demikian dapat diklasifikasikan bahwa permohonan
kasasi dinyatakan tidak dapat diterima.
Adapun mengenai bunyi amar putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam
aspek ini hakikatnya dapat berbunyi, sebagai berikut:
-
Menyatakan, bahwa permohonan kasasi dari Pemohon
Kasasi: ................... tersebut tidak dapat diterima;
-
Menghukum Pemohon Kasasi membayar biaya perkara dalam
Peradilan Kasasi ini sebesar Rp ................ (..............)
2. Permohonan kasasi ditolak
Permohonan kasasi dari pemohon kasasi ditolak oleh Mahkamah Agung Republik
Indonesia dapat disebabkan bahwa yudex facti tidak salah menerapakan
hukum, bahwa pemohon kasasi dalam memori kasasi mempersoalkan tentang kejadian
atau hal yang tidak merupakan wewenang hakim kasasi, misalnya tentang penilaian
hasil pembuktian, penghargaan atas suatu fakta dan lainnya. Dapat pula
permohonan kasasi ditolak oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia karena pemohon
kasasi dalam mengajukan memori kasasi tidak relevan (irrelevant) dengan
pokok perkara.
Apabila permohonan kasasi ditolak, ammar putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia pada pokoknya, dapat berbunyi sebagai berikut:
-
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi ...
tersebut;
-
Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara
dalam peradilan kasasi ini yang ditetapkan sebesar Rp ......
3. Permohonan kasasi dikabulkan
Permohonan kasasi dikabulkan berarti bahwa alasan-alasan atau
keberatan-keberatan yang dikemukakan pemohon kasasi dalam memori kasasi oleh
Mahkamah Agung Republik Indonesia karena yudex facti dianggap telah
salah atau tidak benar dan tepat dalam penerapan hukum atau karena
alasan-alasan hukum lain (Pasal 30, 52 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009). Dalam
hal permohonan kasasi dikabulkan karena alasan dari pemohon kasasi atau karena
alasan hukum lain, Mahkamah Agung Republik Indonesia akan membatalkan putusan yudex
facti. Terhadap hal ini ada 2 (dua) kemungkinan sikap dari Mahkamah
Agung Republik Indonesia, yaitu:
-
Mahkamah Agung Republik Indonesia menyerahkan perkara
tersebut ke pengadilan lain yang berwenang memeriksa dan memutuskannya.
Aspek ini didasarkan pada ketentuan Pasal 51 ayat 1 Undang-undang Nomor 3
Tahun 2009 yaitu mengabulkan permohonan kasasi berdasarkan ketentuan
Pasal 30 huruf a Undang-undang nomor 3 Tahun 2009 bahwa pembatalan itu
didasarkan kepada tidak berwenang/ melampaui batas wewenangnya yudex facti
yang dimohonkan kasasi, berkas perkara oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia
akan dikirim kepada yudex facti yang dianggap berwenang untuk diperiksa
dan diputus.
-
Mahkamah Agung Republik Indonesia memutus sendiri
perkara yang dimohonkan kasasi itu
Apabila permohonan kasasi dikabulkan dan putusan yudex facti
dibatalkan karena alasan Pasal 30 huruf b dan c Undang-undang Nomor 3 Tahun
2009 dan menurut ketentuan Pasal 51 ayat 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009,
Mahkamah Agung Republik Indonesia memutus perkara yang dimohonkan kasasi itu.
Dengan demikian, putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah final, yang
menurut istilah R. Subekti disini dikatakan bahwa Hakim Kasasi dalam
memutus perkara tersebut duduk diatas kursi yudex facti karena ia
memutusi apa yang biasanya wewenang yudex facti (Pengadilan Negeri atau
Pengadilan Tinggi).
C. PENINJAUAN KEMBALI
1.
Prosedur Administrasi Peninjauan Kembali
Pada dasarnya prosedural administrasi pengajuan permohonan peninjauan
kembali berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 ayat 2 huruf
(a) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 yang berbunyi, setelah perkara diputus
ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa
di pengadilan sudah ada, tetapi belum bisa ditemukan, dilakukan dalam
jangka waktu paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal
putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memounyai kekuatan hukum tetap.
Sedangkan alasannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 ayat 2 huruf (b)
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 yang berbunyi, dalam putusan hakim yang
bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata, dilakukan dalam jangka waktu
paling lambat 30 (tigapuluh) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan
peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap.
Hal ini senada dengan pasal 69 Undang-undang No. 14 tahun 1985
yang mengatur tenggang waktu untuk mengajukan permohonan kembali. Pasal
tersebut menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali yang diajukan
berdasarkan alasan harus diajukan dalam tenggang waktu 180 hari untuk :
(a) Yang tersebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu
muslihat atau sejak putusan hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap dan
telah diberitahukan kepada para pihak yang berpekara.
(b) Yang disebut pada huruf b sejak diketemukan surat-surat bukti,
yang hari serta tanggal diketemukannya harus dinyatakan dibawah sumpah dan
disahkan oleh pejabat berwenang.
(c) Yang disebut pada huruf c, d dan f sejak putusan meperoleh
kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang
berperkara.
Kemudian, pernyataan peninjauan kembali dapat diminta apabila panjar
perkara yang ditaksir dalam SKUM oleh meja pertama Panitra Muda Perdata yang
telah dibayar lunas. Dalam menaksir biaya peninjauan kembali ini, ditentukan
dengan besarnya biaya peninjauan kembali yang ditentukan oleh ketua Pengadilan pertama
dan ongkos pengiriman uang ke Mahkamah Agung ditambah dengan biaya berupa:
Ø Biaya registrasi (pencatatan)
Ø Biaya pemberitahuan adanya peninjauan kembali
Ø Ongkos pengiriman (pengiriman uang dan pengiriman berkas) dan
Ø Biaya pengiriman jawaban peninjauan kembali ke Mahkamah Agung Republik
Indonesia
Prosedural selanjutnya apabila biaya peninjauan kembali telah dibayar
lunas, Panitra Muda Perdata wajib membuat Akta Peninjauan kembali dan mencatat
permohonan tersebut ke dalam register induk perkara peninjauan kembali.
Pemohon peninjauan kembali wajib menyampaikan kepada Panitra Pengadilan
bukti pendukung yang menjadi dasar pengajuan permohonan peninjauan kembali dan
untuk termohon salinan permohonan peninjauan kembali berikut salinan bukti
pendukung yang bersangkutan pada tanggal permohonan peninjauan kembali
didaftarkan. Panitra Pengadilan menyampaikan salinan permohonan Peninjauan
kembali berikut salinan bukti pendukung kepada termohon dalam jangka waktu
paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Pihak
termohon dapat mengajukan jawaban terhadap permohonan peninjauan kembali yang
diajukan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari setelah tanggal permohonan
peninjauan kembali didaftarkan. Panitra Pengadilan wajib menyampaikan jawaban
kepada Panitra Mahkamah Agung dalam jangka waktu paling lambat 12 (duabelas)
hari setelah tanggal permohonan didaftarkan (pasal 297 Undang-undang Nomor 37
Tahun 2004).
Kemudian setelah itu berkas perkara peninjauan kembali berupa bundel A dan
B harus dikirim ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pada hakikatnya, bundel A
merupakan himpunan surat-surat yang diawali dengan surat gugatan dan semua
kegiatan/proses penyidangan/pemeriksaan perkara dan selalu disimpan pada
Pengadilan negeri, bundel A ini isinya sama seperti bundel A perkara Kasasi.
Sedangkan mengenai bundel B merupakan himpunan surat-surat perkara yang diawali
dengan permohonan pernyataan kasasi dan peninjauan kembali serta semua kegiatan
berkenaan dengan adanya peninjauan kembali dan Kasasi yang akhirnya menjadi
berkas perkara Mahkamah Agung Republik Indonesia. Adapun mengenai bundel B
untuk perkara peninjauan kembali terdiri atas:
Ø Relaas-relaas pemberitahuan isi putusan Mahkamah Agung kepada Pemohon dan
Termohon atau relaas pemberitahuan isi Putusan Pengadilan negeri (bila
permohonan peninjauan kembali itu diajukan atas Putusan Pengadilan negeri)
Ø Akta permohonan peninjauan kembali
Ø Surat permohonan peninjauan kembali, dilampiri dengan surat bukti
Ø Tanda terima surat permohonan peninjauan kembali
Ø Surat Kuasa Khusus
Ø Surat pemberitahuan dan
penyerahan salinan permohonan peninjauan kembali kepada pihak lawan
Ø Salinan Putusan Kasasi Mahkamah Agung
Ø Tanda bukti setoran biaya peninjauan kembali dari Bank dan
Ø Surat-surat lainnya yang sekiranya ada.
Dalam praktik, setelah
para pihak selesai mempelajari/memeriksa berkas perkara (inzage) dan di
tuangkan dalam akta ekploit lalu berkas peninjauan kembali dikirim
kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia
2. Alasan-alasan Diajukan Permohonan Peninjauan Kembali
Hakikat principal dari permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan secara
tertulis atau apabila permohonan tidak dapat menulis diajukan dengan dengan
lisan dan menyebut alasan-alasan yang dijadikan dasar permohonan dan
dimasukan di Kepanitraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat
pertama ( Pasal 71 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009). Terhadap diajukan
Peninjauan Kembali, secara limitative dalam perkara perdata pada umumnya Pasal
67 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, pasal 266 KUHAP dengan menyebutkan
alasan-alasan Peninjauan Kembali terhadap putusan Pengadilan yang berkekuatan
hokum tetap adalah:
a.
Setelah perkara diputus ditemukan bukti
baru yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di Pengadilan
sudah ada, tetapi belum ditemukan.
Pada asasnya, Aspek ini
lazim disebut dengan istilah Novum, dan mengenai tenggang waktunya
adalah 180 hari (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal putusan yang
dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 296 ayat 1
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 dengan hari dan tanggal ditemukan Novum
dibuat dibawah sumpah serta disahkan pejabat berwenang (Pasal 69 huruf b
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009).
b.
Hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata
Pada dasarnya, pembentuk
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tidak menyebutkan bagaimana dimensi dari
ketentuan Pasal 295 ayat 2 huruf b Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang, dalam
putusan hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata. Dikaji dari
praktik peradilan, hakikat kekeliruan yang nyata diartikan secara letterlijke
tentang kekeliruan yang nyata sebagaimana bunyi Undang-Undang dan
kemudian di implementasikan sebagai kesalahan berat dalam penerapan hukum.
Dalam pasal 67 Undang-undang No. 15 tahun 1985 dinyatakan, bahwa permohonan
peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai beikut:
(a) Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu
muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan
pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
(b) Apabila setelah pekara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang
bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksan tidak dapat diketemukan.
(c) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih
daripada yang dituntut.
(d) Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya.
(e) Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang
sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya
telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan lain.
(f) Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kehilafan hakim atau
suatu kekeliruan yang nyata.
Pasal 71 berbunyi sebagai berikut:
(a) Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohonan secara
tertulis dengan menyebutkan sejelas-jelasnya alasan yang dijadikan dasar
permohonan itu dan dimasukkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus
perkara dalam tingkat pertama.
(b) Apabila pemohon tidak pandai menulis, maka ia menguraikan
permohonannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri yang memutus
perkara dalam tingkat pertama atau hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan
Negeri yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut.
3. Putusan Peradilan Peninjauan Kembali
Pada dasarnya, putusan peradilan terhadap Peninjauan Kembali dalam perkara
perdata dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) golongan, yaitu:
a.
Putusan yang menyatakan bahwa permohona
peninjauan kembali tidak dapat diterima
Suatu permohonan Peninjauan Kembali dinyatakan tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard) karenan pemohon terlambat mengajukan Peninjauan
Kembali sebagaimana ditentukan Pasal 69 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009,
permohonan Peninjauan Kembali Tanpa adanya surat kuasa, atau surat kuasa tidak
khusus dibuat untuk Peninjauan Kembali, atau dapat juga disebabkan Peninjauan
Kembali diajukan untuk kedua kalinya, serta Peninjauan Kembali dimohonkan
terhadap Putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hokum tetap (
inkracht van gewisjde ). Tegasnya, permohonan Peninjauan Kembali dilakukan
tidak memenuhi syarat formal (formalitas) sebagaimana ditentukan oleh
Undang-undang.
- Putusan yang menyatakan bahwa permohonan
peninjauan kembali ditolak
Permohonan Peninjauan Kembali dinyatakan ditolak apabila Mahkamah
Agung Republik Indonesia berpendapat bahwa permohonan Peninjauan Kembali yang
diajukan oleh pemohon tidak beralasan (Pasal 74 ayat 2 Undang-undang nomor 3
Tahun 2009). Alasan ini dapat disebabkan permohonan Peninjauan Kembali tidak
didukung oleh fakta atau keadaan yang merupakan alasan dan menjadi dasar
permohonan Peninjauan Kembali, atau dapat pula disebabkan alasan-alasan
permohonan Peninjauan Kembali tidak sesuai alasan-alasan yang ditetapkan
secara limitative sebagaimana ketentuan Pasal 67 huruf a Undang-undang nomor 3
Tahun 2009 atau juga dapat disebabkan putusan yudex facti yang
dimohonkan Peninjauan Kembali tidak melanggar alas an-alasan permohonan
Peninjauan Kembali.
- putusan yang meyatakan bahwa permohonan
peninjauan kembali dikabulkan
Suatu Permohonan Peninjauan Kembali akan dikabulkan apabila Mahkamah Agung
Republik Indonesia membenarkan alasan-alasan permohonan Peninjauan Kembali
karena sesuai dengan ketentuan Pasal 67 Undang-undang nomor 3 Tahun 2009. Dalam
hal Mahkamah Agung Republik Indonesia mengabulkan permohonan Peninjauan
Kembali, Mahkamah Agung akan membatalkan putusan yang dimohonkan Peninjauan
Kembali tersebut dan selanjutnya memeriksa dan memutus sendiri Perkaranya
(Pasal 74 ayat 1 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009.
Pada hakikatnya dalam putusan perdata niaga pada umumnya pembatalan putusan
yang dimohonkan Peninjauan Kembali atau pengabulan permohonan Peninjauan
Kembali dapat mengenai seluruh bagian putusan atau sebagian /seluruhnya dari
gugatan.
Sedangkan
putusan di bidang pidana berdasarkan pasal 266 ayat 2 KUHAP dapat berupa
putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum, pidana ringan, menolak
tuntutan jaksa jika alasan-alasan permohonan dibenarkan MA. Dan jika alasan
permohonan tidak dibenarkan maka permintaan PK akan ditolak MA.
KESIMPULAN
Dari
ketiga upaya hukum yang telah dipaparkan di atas dengan berbagai persamaan dan
perbedaannya maka perlulah kita mengetahui tujuan dari upaya hukum itu sendiri
adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum dengan mengadakan peradilan di
tingkat yang berbeda. Transparansi hukum juga akan terlihat, karena pada
hakikatnya orang yang melakukan upaya hukum adalah orang yang mempertahankan
haknya untuk mendapatkan rasa keadilan yang tentunya relatif dan subjektif.
DAFTAR
PUSTAKA
Drs. Sudarsono, S.H. Pengdilan Negeri, Poengadilan
Tinggi, Mahkamah Agung Dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Rineka Cipta.
1994.
Mr. R . Tresna. Komentar HIR. Jakarta: Pradnya
Paramita. 2005
Prof Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. Hukum
Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1982.
Prof R.
Subekti S.H., Hukum Acara Perdata, Binacipta,
Bandung, 1977.
Prof. Dr. Jur Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana
Indonesia.Jakarta: Sinar Grafika. 2008
Prof. Dr. Soepomo, S.H., Hukum Acara Perdata
Pengadilan Negeri. Jakarta: pradnya paramita. 1993
Retnowulan Sutantio, S.H. Iskandar Oeripkartawinata
S.H., Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan
Praktik, Mandar Maju, Bandung, 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar